Sengketa Perdata Disulap Jadi Tipikor: Analisis Penyalahgunaan Kewenangan dalam Penegakan Hukum

Legal Opini

Dr. Ainuddin.SH.MH 

(Dekan FH) Unizar 

Pendahuluan

Kasus yang melibatkan mantan Sekretaris Daerah Provinsi NTB, Rosiady Husaenie Sayuti, dalam proyek pembangunan NTB City Center (NCC) memunculkan persoalan besar mengenai apakah permasalahan ini seharusnya diperlakukan sebagai tindak pidana korupsi (Tipikor) atau sebagai sengketa perdata murni. Di sinilah peran “teori melebur” menjadi penting untuk mengkaji secara mendalam esensi permasalahan tersebut.

Prinsip Teori Melebur dalam Analisis Hukum

Teori melebur menunjukkan bahwa ketika suatu keputusan atau tindakan administratif—yang secara asal dikeluarkan oleh pejabat pemerintah—digunakan untuk mengesahkan atau mengeksekusi suatu perjanjian/kontrak, maka keputusan tersebut secara esensial “melebur” ke dalam ranah hukum perdata. Artinya, meskipun keputusan itu dikeluarkan oleh pejabat publik, apabila tujuannya untuk menimbulkan hubungan hukum keperdataan, sengketa yang timbul seharusnya diselesaikan berdasarkan prinsip-prinsip kontrak dan wanprestasi, bukan dengan mekanisme hukum pidana. 

Aplikasi pada Kasus NCC

Dalam kasus NCC, terdapat beberapa poin penting:

Objek Sengketa: Kegagalan pembangunan gedung dan pengalihan hak atas lahan kepada PT Lombok Plaza merupakan permasalahan yang berakar pada wanprestasi atas perjanjian kerja sama.

Kewenangan Pejabat: Meskipun pejabat publik memiliki kewenangan administratif, apabila keputusan yang diambil berkaitan dengan pengaturan kontraktual antara pemerintah dan swasta, maka hubungan hukum yang timbul bersifat perdata.

Elemen Korupsi: Tindak pidana korupsi mensyaratkan adanya penyalahgunaan kewenangan untuk keuntungan pribadi secara langsung. Namun, jika kerugian negara disebabkan oleh kegagalan pelaksanaan kontrak (yang seharusnya diurus melalui mekanisme perdata), maka penerapan UU Tipikor dapat dinilai sebagai perluasan yurisdiksi yang tidak tepat.

Dengan menerapkan teori melebur, terlihat bahwa perjanjian pengelolaan NCC lebih tepat dikaji sebagai sengketa perdata. Sengketa ini menyangkut wanprestasi dan akibat ekonomi dari tidak terealisasinya proyek, bukan sebagai bukti penyalahgunaan kekuasaan secara langsung untuk memperkaya diri.

Implikasi dan Kesimpulan

Penggunaan teori melebur dalam analisis ini menegaskan bahwa:

Pemisahan Ranah Hukum: Kasus ini sebaiknya diselesaikan di ranah perdata, di mana terdapat mekanisme penyelesaian sengketa kontraktual dan penentuan ganti rugi sesuai dengan prinsip hukum perdata.

Kehati-hatian Penegakan Hukum Pidana: Penegakan hukum pidana harus berhati-hati agar tidak melampaui batasnya dan mengkriminalisasi masalah yang lebih tepat diselesaikan secara sipil, agar tidak menciptakan preseden yang mengaburkan batas antara sengketa perdata dan tindak pidana.

Oleh karena itu, dengan menggunakan kerangka teori melebur, permasalahan NCC harus diperlakukan sebagai sengketa perdata murni. APH seharusnya mengutamakan penyelesaian melalui mekanisme wanprestasi dan ganti rugi, bukan melalui proses pidana Tipikor, sehingga penegakan hukum tidak menyalahgunakan wewenangnya dengan mengkriminalisasi suatu permasalahan kontraktual.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kewenangan Presiden dan DPR dalam Pembentukan Undang-Undang di Indonesia: Perspektif Hukum Tata Negara

Opini "Sertifikat Laut, Terobosan Tanpa Tepi"