Kedudukan Saksi Korban dalam Tindak Pidana Kekerasan Seksual: Isu Pelanggaran Asas Hukum dan Potensi Penyalahgunaan
Pendahuluan
Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) merupakan kejahatan serius yang membutuhkan perhatian hukum yang tegas untuk melindungi korban dan menegakkan keadilan. Dalam konteks hukum Indonesia, keberadaan saksi korban diatur dalam beberapa pasal, khususnya dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang TPKS. Namun, dalam penerapannya, terdapat kekhawatiran bahwa aturan mengenai saksi korban dapat melanggar asas-asas hukum tertentu dan berpotensi disalahgunakan, terutama jika dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Peran Saksi Korban dalam TPKS
Dalam kasus TPKS, saksi korban sering kali menjadi sumber utama informasi untuk mengungkap tindak pidana tersebut. Hal ini disebabkan sifat kejahatan seksual yang biasanya terjadi secara tertutup, tanpa saksi langsung selain korban dan pelaku. Pasal-pasal dalam UU TPKS memberikan perlindungan khusus kepada korban untuk mencegah viktimisasi ganda, termasuk kemudahan dalam memberikan keterangan dan perlindungan identitas.
Namun, di sisi lain, keterangan saksi korban dapat menjadi satu-satunya bukti yang memberatkan pelaku. Hal ini memunculkan isu terkait pelanggaran asas "praduga tak bersalah" dan "keseimbangan dalam pembuktian".
Pelanggaran Asas Hukum
Asas hukum pidana yang fundamental adalah bahwa setiap orang dianggap tidak bersalah hingga terbukti sebaliknya (presumption of innocence). Ketergantungan yang besar pada kesaksian korban dapat menimbulkan potensi bias jika tidak ada bukti pendukung yang kuat. Dalam beberapa kasus, pelaku dapat dituduh berdasarkan keterangan korban saja, tanpa disertai bukti materiil lainnya.
Hal ini berpotensi melanggar asas "equality before the law", karena posisi terdakwa cenderung lebih lemah dibandingkan korban yang dilindungi oleh perangkat hukum. Selain itu, asas "nullum crimen sine lege certa" atau larangan menghukum tanpa dasar hukum yang jelas juga dapat terabaikan jika keterangan korban dijadikan satu-satunya dasar penetapan bersalah.
Potensi Penyalahgunaan oleh Pihak Tidak Bertanggung Jawab
Kekhawatiran lainnya adalah potensi penyalahgunaan aturan ini oleh pihak-pihak yang berniat memeras atau menjebak seseorang. Dalam konteks ini, seseorang dapat mengajukan laporan palsu atau manipulatif dengan memanfaatkan posisinya sebagai korban. Hal ini berbahaya, terutama jika pengakuan korban langsung diterima tanpa verifikasi mendalam.
Potensi penyalahgunaan ini sering dikaitkan dengan stereotip "perempuan nakal" yang dianggap menggunakan perlindungan hukum sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan pribadi, baik berupa materi maupun penghancuran reputasi pihak lain. Walaupun jumlah kasus seperti ini relatif kecil dibandingkan kasus kekerasan seksual yang benar-benar terjadi, dampaknya terhadap keadilan hukum sangat signifikan.
Solusi untuk Mengatasi Isu Ini
1. Memperkuat Sistem Pembuktian:
Keterangan saksi korban harus dilengkapi dengan bukti lain, seperti visum et repertum, rekaman elektronik, atau saksi independen lainnya.
2. Penegakan Hukum atas Laporan Palsu:
Hukum pidana harus memberikan sanksi tegas bagi pihak yang terbukti memberikan laporan palsu untuk mencegah penyalahgunaan aturan.
3. Pelatihan Aparat Penegak Hukum:
Aparat perlu diberikan pelatihan khusus untuk menyelidiki kasus kekerasan seksual secara profesional tanpa bias, baik terhadap korban maupun terdakwa.
4. Penguatan Perlindungan Hukum bagi Semua Pihak:
Perlindungan hukum harus diberikan secara seimbang, baik kepada korban maupun terdakwa, untuk memastikan asas keadilan tetap terjaga
Penutup
Meskipun Undang-Undang TPKS dirancang untuk melindungi korban kekerasan seksual, penerapannya harus tetap memperhatikan asas-asas hukum yang fundamental. Penting untuk mencegah aturan ini menjadi alat penyalahgunaan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, sembari tetap memberikan keadilan dan perlindungan kepada korban yang benar-benar membutuhkan. Integrasi pembuktian yang kuat dan sikap profesional dari aparat penegak hukum menjadi kunci dalam menjaga keseimbangan antara perlindungan korban dan penegakan keadilan.
Komentar
Posting Komentar