Kedudukan Saksi Korban dalam Tindak Pidana Kekerasan Seksual: Isu Pelanggaran Asas Hukum dan Potensi Penyalahgunaan
Pendahuluan
Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) merupakan kejahatan serius yang memerlukan penanganan hukum tegas untuk melindungi korban dan menegakkan keadilan. Di Indonesia, peran saksi korban dalam TPKS diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Namun, terdapat kekhawatiran bahwa ketentuan mengenai saksi korban dapat melanggar asas-asas hukum tertentu dan berpotensi disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Peran Saksi Korban dalam TPKS
Pasal 25 UU TPKS menyatakan bahwa keterangan saksi dan/atau korban dapat dijadikan alat bukti yang sah dalam proses peradilan tindak pidana kekerasan seksual. Hal ini penting mengingat kejahatan seksual sering terjadi tanpa saksi lain selain korban dan pelaku. Namun, ketergantungan pada keterangan saksi korban sebagai satu-satunya bukti dapat menimbulkan permasalahan hukum.
Pelanggaran Asas Hukum
Asas "praduga tak bersalah" (presumption of innocence) menyatakan bahwa setiap orang dianggap tidak bersalah hingga terbukti sebaliknya. Mengandalkan keterangan saksi korban sebagai satu-satunya bukti dapat menimbulkan risiko pelanggaran asas ini, terutama jika tidak ada bukti pendukung lainnya. Selain itu, hal ini dapat mengabaikan asas "keseimbangan dalam pembuktian," di mana seharusnya terdapat keseimbangan antara hak-hak korban dan hak-hak terdakwa dalam proses peradilan.
Potensi Penyalahgunaan oleh Pihak Tidak Bertanggung Jawab
Kekhawatiran lain adalah potensi penyalahgunaan ketentuan ini oleh individu yang berniat memeras atau menjebak orang lain dengan tuduhan palsu. Dalam konteks ini, seseorang dapat mengajukan laporan palsu dengan memanfaatkan posisinya sebagai korban, terutama jika keterangan korban dianggap cukup tanpa verifikasi mendalam. Meskipun kasus seperti ini mungkin jarang terjadi, dampaknya terhadap keadilan hukum sangat signifikan.
Solusi untuk Mengatasi Isu Ini
1. Memperkuat Sistem Pembuktian: Keterangan saksi korban sebaiknya didukung dengan bukti lain, seperti visum et repertum, rekaman elektronik, atau saksi independen lainnya, untuk memastikan keandalan dan keabsahan bukti.
2. Penegakan Hukum atas Laporan Palsu: Pemerintah harus memberikan sanksi tegas bagi pihak yang terbukti memberikan laporan palsu untuk mencegah penyalahgunaan ketentuan ini.
3. Pelatihan Aparat Penegak Hukum: Aparat penegak hukum perlu dilatih untuk menyelidiki kasus kekerasan seksual secara profesional dan objektif, tanpa bias terhadap korban maupun terdakwa.
4. Penguatan Perlindungan Hukum bagi Semua Pihak: Perlindungan hukum harus diberikan secara seimbang kepada korban dan terdakwa, untuk memastikan asas keadilan tetap terjaga.
Penutup
Meskipun UU TPKS bertujuan melindungi korban kekerasan seksual, penerapannya harus tetap memperhatikan asas-asas hukum yang fundamental. Penting untuk mencegah ketentuan ini menjadi alat penyalahgunaan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, sambil tetap memberikan keadilan dan perlindungan kepada korban yang benar-benar membutuhkan. Integrasi pembuktian yang kuat dan profesionalisme aparat penegak hukum menjadi kunci dalam menjaga keseimbangan antara perlindungan korban dan penegakan keadilan.
Komentar
Posting Komentar