Tinjauan Kritis Pasal 25 UU TPKS: Ketidakseimbangan dalam Mengakomodir Rasa Keadilan Terdakwa


Pendahuluan

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) merupakan tonggak penting dalam upaya melindungi korban kekerasan seksual di Indonesia. Namun, sejumlah pasal di dalamnya, termasuk Pasal 25, menuai kritik karena dianggap tidak seimbang dalam mengakomodir hak-hak terdakwa. Pasal ini berpotensi menimbulkan ketimpangan dalam penegakan hukum, khususnya terkait dengan asas keadilan dan keseimbangan antara korban dan terdakwa.

Isi Pasal 25 UU TPKS

Pasal 25 UU TPKS mengatur bahwa alat bukti yang sah dalam tindak pidana kekerasan seksual mencakup alat bukti sebagaimana dimaksud dalam KUHAP, serta alat bukti lain seperti rekaman elektronik, keterangan psikolog, dan bukti lain yang relevan. Pasal ini secara eksplisit memberikan ruang yang luas untuk mengakomodasi bukti-bukti yang mendukung korban.

Ketimpangan dalam Perspektif Hukum

Meskipun tujuan utama Pasal 25 adalah melindungi korban, pengaturannya dianggap menimbulkan ketidakadilan bagi terdakwa. Hal ini muncul dari beberapa aspek berikut:

1. Dominasi Bukti yang Mendukung Korban

Pasal ini menekankan pada penerimaan bukti dari pihak korban, namun kurang memperhatikan potensi manipulasi atau penyalahgunaan alat bukti. Sebagai contoh, rekaman elektronik atau keterangan psikolog dapat memiliki bias jika tidak dilakukan secara profesional dan berimbang. Dalam kasus tertentu, bukti semacam ini dapat diinterpretasikan secara sepihak.

2. Pergeseran Beban Pembuktian

Dalam prinsip hukum pidana, beban pembuktian berada di tangan penuntut umum (asas presumption of innocence). Namun, pengaturan Pasal 25 dapat mendorong situasi di mana terdakwa harus membuktikan dirinya tidak bersalah karena bukti korban lebih dominan. Ini berisiko menciptakan ketimpangan perlakuan hukum.

3. Minimnya Perlindungan Hak Terdakwa

UU TPKS cenderung berfokus pada perlindungan korban tanpa secara eksplisit mengatur hak-hak terdakwa. Dalam proses hukum, terdakwa juga berhak mendapatkan pembelaan yang setara, termasuk perlindungan terhadap kemungkinan kriminalisasi tanpa dasar yang kuat.

Konsekuensi Praktis Pasal 25

Ketidakseimbangan ini dapat menimbulkan beberapa konsekuensi, di antaranya:

Peningkatan Risiko Salah Tangkap

Penerimaan alat bukti yang longgar dapat membuka peluang bagi tuduhan palsu atau tidak berdasar. Hal ini berpotensi merugikan terdakwa yang sebenarnya tidak bersalah.

Erosi Kepercayaan pada Sistem Peradilan

Ketimpangan perlakuan dalam proses hukum dapat mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan pidana. Keberpihakan yang berlebihan pada satu pihak akan menimbulkan anggapan bahwa hukum tidak adil.

Rekomendasi Solusi

Untuk memastikan rasa keadilan bagi semua pihak, termasuk terdakwa, beberapa langkah perlu dipertimbangkan:

1. Penerapan Asas Keseimbangan

UU TPKS perlu dilengkapi dengan pengaturan yang memperhatikan hak-hak terdakwa, termasuk mekanisme pengawasan terhadap penggunaan alat bukti alternatif.

2. Peningkatan Kualitas Penyidikan dan Peradilan

Proses penyidikan harus dilakukan dengan cermat dan profesional, sehingga tidak hanya berfokus pada korban tetapi juga mempertimbangkan kemungkinan terdakwa tidak bersalah.

3. Penyediaan Jaminan Perlindungan Hukum bagi Terdakwa

Perlindungan hukum bagi terdakwa perlu diatur secara tegas untuk mencegah kriminalisasi yang tidak adil

Kesimpulan

Pasal 25 UU TPKS merupakan langkah progresif untuk melindungi korban kekerasan seksual. Namun, penerapannya harus dilakukan secara hati-hati agar tidak menimbulkan ketidakadilan bagi terdakwa. Penegakan hukum yang adil memerlukan keseimbangan antara melindungi korban dan memastikan hak-hak terdakwa tetap terjamin. Dengan demikian, revisi terhadap pasal-pasal yang berpotensi menimbulkan ketimpangan ini menjadi langkah penting untuk mewujudkan keadilan yang sesungguhnya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sengketa Perdata Disulap Jadi Tipikor: Analisis Penyalahgunaan Kewenangan dalam Penegakan Hukum

Kewenangan Presiden dan DPR dalam Pembentukan Undang-Undang di Indonesia: Perspektif Hukum Tata Negara

Opini "Sertifikat Laut, Terobosan Tanpa Tepi"