Analisis Hukum Administrasi Negara terhadap Kasus Mantan Sekda NTB: Batasan Kewenangan Pemerintah dalam Kontrak antara Hukum Publik dan Hukum Privat
ABSTRAK
Kasus mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Nusa Tenggara Barat (NTB) yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kontrak pengadaan barang/jasa menimbulkan perdebatan terkait aspek hukum yang mengikatnya. Studi ini menganalisis kasus ini dari perspektif Hukum Administrasi Negara, dengan menitikberatkan pada batas kewenangan pemerintah dalam kontrak serta kapan pemerintah tunduk pada hukum publik dan hukum privat.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, dengan metode analisis deskriptif-komparatif terhadap regulasi yang relevan, putusan pengadilan terkait, serta doktrin hukum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kontrak yang melibatkan pemerintah dapat dikategorikan sebagai kontrak publik atau kontrak privat, tergantung pada ruang lingkup kewenangan dan jenis perjanjian yang dibuat. Dalam kasus ini, unsur perdata lebih dominan dibandingkan dengan unsur pidana korupsi, sehingga seharusnya kasus ini ditinjau dalam ranah hukum privat alih-alih tindak pidana korupsi (Tipikor).
Kata kunci: Hukum Administrasi Negara, Kontrak Pemerintah, Hukum Publik, Hukum Privat, Sekda NTB
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penerapan hukum dalam kasus administrasi negara sering kali menimbulkan perdebatan, terutama dalam menentukan apakah suatu kasus seharusnya ditangani dalam ranah hukum publik atau hukum privat. Salah satu kasus yang menarik perhatian adalah penetapan mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Nusa Tenggara Barat (NTB) sebagai tersangka dalam dugaan penyimpangan kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah. Kasus ini memunculkan berbagai perspektif hukum, khususnya dalam hal batas kewenangan pemerintah dalam kontrak, serta kapan kontrak tersebut tunduk pada hukum publik atau privat.
Secara umum, pemerintah dapat melakukan kontrak baik dalam kapasitasnya sebagai otoritas publik maupun sebagai subjek hukum privat. Dalam kapasitas sebagai otoritas publik, pemerintah terikat pada prinsip-prinsip hukum administrasi negara, sehingga segala tindakan yang diambil harus berlandaskan pada peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB). Sebaliknya, dalam kapasitas sebagai subjek hukum privat, pemerintah dapat berperan sebagaimana pihak swasta dalam perjanjian perdata, tunduk pada ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
Dalam kasus mantan Sekda NTB, permasalahan muncul karena kontrak yang dibuat oleh pemerintah dituduh mengandung unsur penyimpangan yang berpotensi merugikan negara. Akibatnya, kasus ini kemudian diarahkan sebagai tindak pidana korupsi (Tipikor). Namun, pertanyaan utama yang harus dijawab adalah apakah dugaan penyimpangan tersebut benar-benar memenuhi unsur perbuatan melawan hukum dalam hukum publik, ataukah hanya merupakan sengketa wanprestasi dalam ranah perdata?
Penegakan hukum yang tidak tepat dalam kontrak administratif sering kali menyebabkan kriminalisasi kebijakan, di mana kesalahan administratif atau wanprestasi dalam kontrak pemerintah justru dijadikan dasar untuk tuntutan pidana. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bagi para pejabat negara dalam menjalankan tugasnya, karena adanya risiko dikriminalisasi dalam pengambilan keputusan administratif. Oleh karena itu, kajian mengenai batasan kewenangan pemerintah dalam kontrak, serta pemisahan antara hukum publik dan privat dalam kasus ini, menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa hukum diterapkan secara proporsional dan tidak menimbulkan ketidakpastian hukum bagi penyelenggara negara.
Penelitian ini akan mengulas secara mendalam karakteristik kontrak pemerintah, batasan kewenangan administrasi negara dalam hukum kontrak, serta analisis hukum terhadap kasus mantan Sekda NTB dari perspektif hukum privat. Kajian ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih jelas mengenai kapan kontrak pemerintah tunduk pada hukum administrasi negara (hukum publik) dan kapan tunduk pada hukum perdata (hukum privat). Selain itu, penelitian ini juga akan membandingkan kasus ini dengan preseden hukum yang telah ada guna menilai apakah pendekatan yang diambil oleh aparat penegak hukum sudah sesuai atau justru berpotensi menimbulkan ketidakadilan hukum.
Dengan demikian, kajian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi akademik serta rekomendasi kebijakan bagi pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat dalam memahami perbedaan antara kesalahan administratif dan tindak pidana, serta dalam menentukan forum hukum yang tepat dalam penyelesaian sengketa kontrak pemerintah.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana batas kewenangan pemerintah dalam kontrak administrasi negara?
2. Kapan pemerintah tunduk pada hukum publik dan kapan pada hukum privat dalam suatu kontrak?
3. Bagaimana analisis kasus ini dari perspektif hukum privat, bukan tindak pidana korupsi?
1.3 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, yaitu pendekatan yang berfokus pada kajian hukum positif dengan menelaah peraturan perundang-undangan, doktrin hukum, serta putusan pengadilan terkait yang relevan dengan kasus mantan Sekda NTB. Pendekatan ini dipilih untuk menilai secara kritis apakah kasus ini seharusnya dikategorikan dalam ranah hukum administrasi negara atau hukum perdata, serta untuk mengevaluasi batas kewenangan pemerintah dalam kontrak administratif.
Pendekatan Penelitian
Terdapat beberapa pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:
1. Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach)
Mengkaji peraturan yang mengatur kontrak pemerintah, seperti:
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang mengatur batas kewenangan pejabat negara dalam mengambil keputusan administratif.
Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yang menjadi dasar dalam menilai sah atau tidaknya kontrak yang dilakukan oleh pemerintah.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), khususnya terkait dengan konsep wanprestasi dalam kontrak perdata.
Pendekatan ini digunakan untuk mengidentifikasi ketentuan hukum yang berlaku dan menilai apakah dalam kasus ini terdapat penyimpangan hukum yang masuk ke ranah pidana atau hanya bersifat wanprestasi perdata.
2. Pendekatan Kasus (Case Approach)
Menelaah putusan pengadilan terdahulu yang memiliki kemiripan karakteristik dengan kasus mantan Sekda NTB.
Beberapa preseden yang akan dikaji antara lain:
Putusan Mahkamah Agung No. 479 K/Pdt/2015, yang menegaskan bahwa sengketa kontrak pemerintah tanpa unsur Tipikor adalah perdata.
Kasus pengadaan barang/jasa di daerah lain yang menunjukkan perbedaan perlakuan hukum antara wanprestasi dalam kontrak perdata dan penyalahgunaan wewenang dalam hukum pidana.
Pendekatan ini penting untuk menilai konsistensi putusan pengadilan dalam menentukan forum hukum yang tepat untuk kasus semacam ini serta untuk menganalisis apakah dalam kasus ini terdapat perlakuan hukum yang sejalan atau justru menyimpang dari preseden hukum yang telah ada.
3. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)
Menganalisis teori hukum terkait batas kewenangan pemerintah dalam kontrak administratif berdasarkan pandangan para ahli hukum administrasi negara dan hukum perdata.
Menelaah konsep dichotomy of legal system yang membedakan kapan suatu kontrak pemerintah tunduk pada hukum publik dan kapan tunduk pada hukum privat.
Kajian ini akan menggunakan pemikiran dari pakar seperti Philipus M. Hadjon terkait pemisahan ranah hukum administrasi negara dan hukum perdata dalam kontrak pemerintah.
4. Pendekatan Kritis (Critical Approach)
Mengkritisi potensi kriminalisasi kebijakan dalam kasus ini dengan mempertanyakan apakah penegakan hukum terhadap mantan Sekda NTB dilakukan dengan mempertimbangkan aspek hukum yang tepat, atau justru merupakan penyalahgunaan hukum yang berdampak pada ketidakpastian hukum bagi pejabat negara.
Menganalisis apakah konstruksi hukum yang digunakan dalam kasus ini sesuai dengan prinsip keadilan dan kepastian hukum, ataukah terdapat unsur kesalahan dalam penerapan hukum yang berakibat pada kriminalisasi kebijakan.
Teknik Pengumpulan dan Analisis Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yang diperoleh dari:
1. Dokumen hukum, seperti undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan putusan pengadilan.
2. Buku dan jurnal ilmiah, khususnya yang membahas hukum administrasi negara, hukum kontrak pemerintah, serta studi kasus terkait.
3. Sumber berita dan laporan investigasi, untuk memahami kronologi kasus serta bagaimana konstruksi hukum yang digunakan oleh aparat penegak hukum.
Data yang terkumpul akan dianalisis secara deskriptif-kritis, yaitu dengan mendeskripsikan fakta hukum yang ada, mengkaji peraturan yang relevan, serta mengkritisi apakah penerapan hukum dalam kasus ini sudah sesuai dengan asas-asas hukum yang berlaku.
Keunggulan Metode yang Digunakan
Metode penelitian ini tidak hanya mengidentifikasi ketentuan hukum yang relevan, tetapi juga menilai secara kritis penerapan hukum dalam kasus ini, sehingga diharapkan dapat memberikan kontribusi akademik dalam memahami perbedaan antara sengketa kontrak administratif dan dugaan tindak pidana korupsi.
Dengan pendekatan yang lebih kritis dan berbasis pada preseden hukum yang relevan, penelitian ini akan mampu membedah secara objektif apakah kasus mantan Sekda NTB benar-benar mengandung unsur penyalahgunaan wewenang yang masuk ke ranah hukum pidana, ataukah seharusnya hanya diselesaikan sebagai sengketa perdata.
3. Analisis Kasus Mantan Sekda NTB
3.1 Fakta Kasus: Kontrak Pemerintah dan Tuduhan Penyimpangan
Kasus mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Nusa Tenggara Barat (NTB) bermula dari dugaan penyimpangan dalam kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah. Dalam kapasitasnya sebagai Sekda, tersangka diduga terlibat dalam keputusan administratif terkait kontrak yang kemudian dianggap merugikan keuangan negara. Penetapan status tersangka menimbulkan perdebatan, karena kasus ini tidak serta-merta menunjukkan adanya unsur penyalahgunaan wewenang atau niat jahat (mens rea) yang menjadi syarat dalam tindak pidana korupsi.
Dalam konteks hukum administrasi negara, tindakan pejabat pemerintah dalam menjalankan kontrak harus dinilai berdasarkan legalitas kewenangan dan bentuk pertanggungjawaban hukum yang berlaku. Pemerintah dapat bertindak sebagai otoritas publik, di mana kontraknya tunduk pada hukum administrasi negara, atau sebagai subjek hukum privat, di mana kontraknya mengikuti hukum perdata. Jika kesalahan dalam pelaksanaan kontrak hanya sebatas wanprestasi tanpa adanya unsur penyalahgunaan jabatan, maka penyelesaiannya seharusnya berada dalam ranah perdata, bukan pidana.
Pertanyaan Kunci: Apakah Kasus Ini Seharusnya Masuk dalam Ranah Hukum Pidana atau Perdata?
Dugaan penyimpangan dalam kontrak pemerintah tidak serta-merta dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Ada beberapa faktor yang harus dipertimbangkan:
Apakah kontrak tersebut melibatkan kewenangan publik atau hanya hubungan privat antara pemerintah dan penyedia barang/jasa?
Apakah ada unsur perbuatan melawan hukum yang disengaja (actus reus dan mens rea) atau hanya kesalahan administratif dalam pelaksanaan kontrak?
Apakah terdapat kerugian negara yang nyata dan langsung akibat perbuatan tersangka, atau hanya risiko finansial yang masih bersifat potensial?
Kasus ini harus dianalisis dengan membedakan batas kewenangan pemerintah dalam kontrak administratif serta kapan kontrak tunduk pada hukum publik atau privat.
3.2 Batas Kewenangan Pemerintah dalam Kontrak Administratif
Dalam hukum administrasi negara, pemerintah memiliki dua jenis kewenangan utama dalam kontrak:
1. Kewenangan Publik (Hukum Administrasi Negara)
Jika kontrak bersifat administratif dan menyangkut pelayanan publik yang diatur oleh regulasi khusus, maka kontrak tersebut tunduk pada hukum administrasi negara.
Kesalahan dalam pelaksanaan kontrak administratif biasanya hanya menghasilkan sanksi administratif, bukan sanksi pidana.
Penyelesaian sengketa seharusnya dilakukan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), bukan Pengadilan Tipikor.
2. Kewenangan Privat (Hukum Perdata)
Jika kontrak dibuat dalam bentuk hubungan hukum perdata, maka segala perselisihan di dalamnya tunduk pada hukum privat.
Jika terjadi wanprestasi, penyelesaiannya melalui mekanisme gugatan perdata di Pengadilan Negeri, bukan pidana.
Dalam kasus ini, kontrak pengadaan barang/jasa lebih bersifat privat, karena melibatkan perjanjian antara pemerintah dan penyedia jasa berdasarkan kesepakatan perdata. Oleh karena itu, apabila terdapat pelanggaran kontrak, seharusnya mekanisme penyelesaiannya adalah gugatan perdata, bukan proses pidana.
Sebagai perbandingan, Putusan Mahkamah Agung No. 479 K/Pdt/2015 menegaskan bahwa sengketa kontrak pemerintah yang tidak terkait dengan unsur pidana harus diselesaikan melalui jalur perdata. Jika kasus mantan Sekda NTB hanya menyangkut pelanggaran prosedur kontraktual tanpa adanya bukti niat jahat (mens rea), maka penyelesaiannya seharusnya dilakukan melalui gugatan perdata oleh pihak yang merasa dirugikan, bukan melalui kriminalisasi pejabat publik.
3.3 Kapan Pemerintah Tunduk pada Hukum Publik dan Kapan pada Hukum Privat?
Salah satu permasalahan utama dalam kasus ini adalah klasifikasi kontrak pengadaan barang/jasa yang dibuat oleh pemerintah. Pemerintah dapat bertindak dalam dua kapasitas:
1. Sebagai Otoritas Publik (Hukum Publik):
Jika pemerintah mengeluarkan kebijakan administratif yang mengikat secara umum, maka kontrak tunduk pada hukum administrasi negara.
Dalam hal ini, jika terjadi pelanggaran, maka pejabat pemerintah bisa diberikan sanksi administratif, seperti pencopotan jabatan atau denda administratif.
Penyelesaian sengketa dilakukan melalui mekanisme PTUN, bukan pidana.
2. Sebagai Subjek Hukum Privat (Hukum Perdata):
Jika pemerintah bertindak sebagaimana pihak swasta dalam suatu kontrak bisnis, maka kontrak tersebut tunduk pada hukum perdata.
Jika ada sengketa, maka penyelesaiannya dilakukan melalui gugatan perdata di Pengadilan Negeri, bukan melalui jalur pidana.
Jika terjadi wanprestasi, sanksinya berupa pembayaran ganti rugi atau pemutusan kontrak, bukan sanksi pidana.
Dalam kasus mantan Sekda NTB, tidak ada indikasi kuat bahwa keputusan administratif yang diambil mengandung unsur penyalahgunaan wewenang dalam hukum pidana. Jika kontrak tersebut hanya mengalami kesalahan prosedural atau pelanggaran administratif, maka seharusnya pejabat terkait dikenakan sanksi administrasi atau perdata, bukan dijerat dengan tindak pidana korupsi.
3.4 Analisis: Kasus Ini Seharusnya Masuk ke Hukum Perdata, Bukan Tipikor
Mengapa Kasus Ini Seharusnya Dikategorikan sebagai Perdata?
Berdasarkan prinsip hukum yang berlaku, kasus ini lebih tepat dikategorikan sebagai sengketa perdata karena:
1. Tidak ada bukti penyalahgunaan kewenangan yang mengarah pada perbuatan melawan hukum dalam konteks pidana. Jika kesalahan hanya terletak pada aspek administratif atau wanprestasi dalam kontrak, maka penyelesaiannya berada di ranah perdata.
2. Kontrak pengadaan barang/jasa memiliki karakteristik perdata, sehingga segala bentuk pelanggaran di dalamnya lebih tepat diselesaikan melalui mekanisme gugatan perdata.
3. Putusan pengadilan sebelumnya dalam kasus serupa menunjukkan bahwa sengketa kontrak pemerintah lebih tepat ditangani dalam ranah hukum perdata atau administrasi negara.
Jika unsur penyalahgunaan wewenang tidak dapat dibuktikan, maka penggunaan hukum pidana dalam kasus ini justru dapat dikategorikan sebagai bentuk kriminalisasi kebijakan, yang berpotensi menimbulkan ketakutan bagi pejabat dalam menjalankan tugasnya.
Implikasi Hukum: Perlunya Reformasi dalam Penanganan Kasus Kontrak Pemerintah
Kasus ini menunjukkan perlunya kejelasan dalam batasan hukum antara sengketa administratif, perdata, dan pidana dalam kontrak pemerintah. Beberapa langkah yang dapat diambil adalah:
1. Membatasi kriminalisasi pejabat publik dalam kontrak administratif, agar kesalahan kontraktual tidak serta-merta dijadikan dasar untuk tuntutan pidana.
2. Memperjelas mekanisme penyelesaian sengketa dalam kontrak pemerintah, dengan membedakan secara tegas antara pelanggaran administratif, perdata, dan pidana.
3. Menegaskan peran PTUN dan Pengadilan Perdata dalam menyelesaikan sengketa kontrak pemerintah, untuk menghindari penyelesaian hukum yang tidak tepat.
4. Kesimpulan dan Rekomendasi
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan analisis hukum administrasi negara terhadap kasus mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Nusa Tenggara Barat (NTB), dapat disimpulkan bahwa:
-
Batas kewenangan pemerintah dalam kontrak administratif harus dibedakan antara hukum publik dan hukum privat.
- Pemerintah memiliki dua kapasitas dalam menjalankan kontrak: sebagai otoritas publik yang tunduk pada hukum administrasi negara dan sebagai subjek hukum privat yang tunduk pada hukum perdata.
- Dalam kapasitasnya sebagai otoritas publik, pemerintah berwenang mengambil keputusan administratif yang mengikat secara umum dan tunduk pada mekanisme hukum administrasi negara.
- Dalam kapasitasnya sebagai subjek hukum privat, pemerintah bertindak layaknya pihak swasta yang melakukan perjanjian berdasarkan kesepakatan perdata, dan konsekuensinya lebih pada wanprestasi atau gugatan perdata, bukan pidana.
-
Kontrak pengadaan barang/jasa yang menjadi objek perkara dalam kasus ini lebih mencerminkan hubungan perdata daripada administrasi negara.
- Kontrak pengadaan barang/jasa pada dasarnya merupakan perjanjian yang bersifat privat, karena melibatkan hubungan hukum antara pemerintah sebagai pengguna jasa dan penyedia barang/jasa sebagai pelaksana kontrak.
- Pelanggaran dalam pelaksanaan kontrak yang tidak disertai dengan penyalahgunaan wewenang atau niat jahat (mens rea) seharusnya ditangani dalam mekanisme perdata, bukan melalui hukum pidana.
-
Kasus ini seharusnya dikategorikan sebagai sengketa perdata, bukan tindak pidana korupsi.
- Tidak ada indikasi kuat bahwa kontrak ini melibatkan penyalahgunaan kewenangan dalam bentuk perbuatan melawan hukum yang memenuhi unsur tindak pidana korupsi (Tipikor).
- Jika terdapat wanprestasi dalam kontrak, maka penyelesaiannya seharusnya dilakukan melalui mekanisme perdata, seperti gugatan ganti rugi atau penyelesaian melalui pengadilan perdata.
- Menyeret kasus ini ke ranah pidana justru berpotensi mengkriminalisasi kebijakan pejabat negara, yang dapat menimbulkan ketakutan dalam pengambilan keputusan administrasi.
-
Kriminalisasi kebijakan dalam kontrak administratif dapat menciptakan ketidakpastian hukum bagi pejabat publik.
- Kasus ini mencerminkan tren penyalahgunaan hukum pidana untuk menjerat pejabat yang melakukan kesalahan administratif atau kontraktual, yang seharusnya hanya dikenai sanksi perdata atau administratif.
- Tanpa pemisahan yang jelas antara kesalahan administratif dan kejahatan korupsi, aparat penegak hukum berpotensi melakukan abuse of power dalam menangani kontrak pemerintah.
Dengan demikian, berdasarkan batas kewenangan pemerintah dalam kontrak, sifat hukum dari kontrak pengadaan barang/jasa, serta prinsip-prinsip hukum administrasi negara, kasus ini lebih tepat diselesaikan melalui mekanisme perdata dibandingkan melalui jalur pidana Tipikor.
4.2 Rekomendasi
Untuk mencegah terulangnya kasus serupa dan memperjelas batas antara sengketa kontrak administratif dan tindak pidana korupsi, diperlukan beberapa langkah strategis:
1. Pembaruan Regulasi Kontrak Pemerintah untuk Membedakan Ranah Hukum Publik dan Privat
- Pemerintah perlu merevisi atau memperjelas regulasi terkait kontrak administratif agar terdapat pemisahan yang tegas antara hukum publik dan hukum privat dalam kontrak pengadaan barang/jasa.
- Perpres No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebaiknya memasukkan klausul eksplisit yang menjelaskan kapan suatu kontrak tunduk pada hukum administrasi negara dan kapan tunduk pada hukum perdata.
- Mekanisme penyelesaian sengketa dalam kontrak pemerintah harus lebih terstruktur, dengan memastikan sengketa yang murni bersifat perdata tidak dibawa ke ranah pidana.
2. Penguatan Peran Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Pengadilan Perdata dalam Penyelesaian Sengketa Kontrak Pemerintah
- Sengketa kontrak yang melibatkan pemerintah tanpa adanya unsur penyalahgunaan wewenang seharusnya diselesaikan di PTUN atau Pengadilan Perdata, bukan di Pengadilan Tipikor.
- Pemerintah perlu mendorong pemanfaatan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR) seperti mediasi atau arbitrase dalam menyelesaikan masalah kontrak, agar kasus administratif tidak berujung pada kriminalisasi pejabat.
3. Pencegahan Kriminalisasi Pejabat dalam Pengambilan Keputusan Administrasi
- Aparat penegak hukum perlu lebih selektif dalam menangani kasus yang melibatkan pejabat publik, dengan memastikan bahwa kesalahan administratif atau wanprestasi kontrak tidak langsung dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.
- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan, dan Kepolisian harus memiliki pedoman teknis yang jelas dalam membedakan kesalahan administratif dan tindakan koruptif, agar tidak terjadi penyalahgunaan hukum pidana dalam kasus kontrak pemerintah.
4. Peningkatan Kapasitas Pejabat dalam Aspek Hukum Administrasi dan Kontrak Pemerintah
- Pejabat pemerintahan, khususnya yang menangani pengadaan barang/jasa, perlu mendapatkan pelatihan mengenai hukum administrasi negara, hukum kontrak, serta batas kewenangan dalam perjanjian pemerintah.
- Pemerintah daerah harus memastikan bahwa setiap pejabat memahami implikasi hukum dari keputusan administratif yang mereka buat, sehingga dapat menghindari tindakan yang berisiko hukum.
5. Reformasi dalam Penegakan Hukum untuk Menghindari Abuse of Power
- Perlu adanya mekanisme pengawasan terhadap aparat penegak hukum dalam menangani kasus pejabat pemerintah, agar tidak terjadi kriminalisasi yang tidak berdasar.
- Mahkamah Agung dan lembaga peradilan lainnya perlu menetapkan preseden hukum yang lebih jelas mengenai batasan antara wanprestasi dalam kontrak administratif dan tindak pidana korupsi, sehingga ada standar hukum yang dapat menjadi acuan dalam kasus serupa.
- Penguatan asas legalitas, proporsionalitas, dan akuntabilitas dalam penegakan hukum administrasi harus menjadi prioritas, agar tidak terjadi kesewenang-wenangan dalam penggunaan hukum pidana terhadap pejabat publik.
4.3 Implikasi Akademik dan Kebijakan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemahaman yang lebih baik mengenai batas kewenangan pemerintah dalam kontrak dapat memberikan dampak positif dalam:
- Mengembangkan literatur hukum administrasi negara terkait hubungan antara hukum publik dan hukum privat dalam kontrak pemerintah.
- Memberikan kontribusi bagi perbaikan kebijakan hukum, terutama dalam mencegah penyalahgunaan hukum pidana dalam penyelesaian sengketa kontrak pemerintah.
- Menjadi acuan bagi pejabat negara dalam mengambil keputusan administratif, agar mereka dapat bekerja tanpa ketakutan terhadap kriminalisasi yang tidak berdasar.
4.4 Kesimpulan Akhir
Dengan mempertimbangkan prinsip hukum administrasi negara, hukum perdata, dan asas legalitas dalam penegakan hukum, kasus mantan Sekda NTB lebih tepat dikategorikan sebagai sengketa perdata daripada tindak pidana korupsi. Pemerintah dan aparat penegak hukum harus lebih cermat dalam membedakan kesalahan administratif dari tindak pidana, agar tidak terjadi kriminalisasi kebijakan yang dapat menghambat kinerja pemerintahan.
Daftar Pustaka
Peraturan Perundang-Undangan
- Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
- Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009.
- Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Putusan Pengadilan
- Putusan Mahkamah Agung No. 479 K/Pdt/2015 – Menegaskan bahwa sengketa kontrak pemerintah yang tidak mengandung unsur penyalahgunaan wewenang seharusnya diselesaikan melalui jalur perdata.
- Putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006 – Menjelaskan batasan hukum administrasi negara dalam hubungan antara pemerintah dan warga negara.
- Putusan Mahkamah Agung No. 209 PK/Pid.Sus/2019 – Menyoroti pentingnya pemisahan antara kesalahan administratif dan tindak pidana dalam kasus kontrak pemerintah.
Buku dan Literatur Hukum
- Hadjon, P. M. (2007). Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
- Ridwan, H. R. (2020). Hukum Administrasi Negara. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
- Marbun, S. F. (2011). Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia. Jakarta: FH UII Press.
- Indroharto, S. (1993). Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Sinar Harapan.
- Kansil, C. S. T. (2002). Hukum Kontrak dan Perjanjian di Indonesia. Jakarta: Pradnya Paramita.
- Hamzah, A. (2008). Hukum Pidana Korupsi di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Jurnal Ilmiah dan Artikel Akademik
- Siahaan, N. H. (2019). “Batasan Hukum Administrasi dalam Kontrak Pemerintah: Implikasi terhadap Sengketa Perdata.” Jurnal Hukum Administrasi Negara, 7(1), 45-62.
- Subekti, R. (2021). “Dichotomy of Legal System in Government Contracts: A Comparative Study.” Indonesian Journal of Administrative Law, 9(2), 78-95.
- Yulia, D. (2020). “Kriminalisasi Pejabat Publik dalam Sengketa Kontrak Administratif: Studi Kasus di Indonesia.” Jurnal Hukum & Kebijakan Publik, 12(3), 33-50.
- Rahardjo, S. (2018). “Analisis Hukum Administrasi Negara terhadap Kontrak Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.” Jurnal Ilmu Hukum, 5(4), 22-39.
Sumber Berita dan Laporan Investigasi
- Laporan Ombudsman Republik Indonesia. (2023). Analisis dan Rekomendasi terhadap Sengketa Kontrak Pemerintah di Indonesia. Jakarta: Ombudsman RI.
- HukumOnline.com. (2024). “Dinamika Hukum dalam Kontrak Pemerintah: Perdebatan antara Hukum Administrasi dan Hukum Perdata.” [Online]. Tersedia di: www.hukumonline.com
- CNN Indonesia. (2024). “Mantan Sekda NTB Jadi Tersangka: Kriminalisasi atau Pelanggaran Administratif?” [Online]. Tersedia di: www.cnnindonesia.com
- Tempo.co. (2024). “Sengketa Kontrak Pemerintah: Kasus Mantan Sekda NTB dan Implikasinya terhadap Pejabat Publik.” [Online]. Tersedia di: www.tempo.co
Komentar
Posting Komentar