Analisis Kasus Hukum Mantan Sekda NTB: Perspektif Hukum Perdata dalam Kontrak Pemerintah dengan Pihak Swasta

Ditulis oleh: Ainuddin

Kasus yang menjerat mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Nusa Tenggara Barat (NTB), Rosiady Husaenie Sayuti, terkait dengan dugaan korupsi dalam kerja sama pembangunan NTB Convention Center (NCC), menimbulkan pertanyaan mengenai apakah kasus ini seharusnya dikategorikan sebagai perkara perdata atau pidana. Dalam analisis ini, kita akan meninjau substansi kasus dari perspektif hukum perdata, mengingat adanya kontrak antara pemerintah dan pihak swasta.

Latar Belakang Kasus

Pada tahun 2012, Pemerintah Provinsi NTB menjalin kerja sama dengan PT Lombok Plaza untuk memanfaatkan lahan milik pemerintah guna pembangunan NCC. Kerja sama ini menggunakan skema Bangun Guna Serah (BGS), di mana PT Lombok Plaza bertanggung jawab membangun fasilitas tersebut dan kemudian mengelolanya untuk jangka waktu tertentu sebelum menyerahkannya kembali kepada pemerintah. Namun, dalam pelaksanaannya, PT Lombok Plaza diduga tidak memenuhi kewajibannya, termasuk tidak membangun gedung yang disepakati dan tidak memberikan kompensasi kepada pemerintah sesuai perjanjian. Akibatnya, negara diduga mengalami kerugian sebesar Rp15,2 miliar. 

Perspektif Hukum Perdata dalam Kontrak Pemerintah dan Swasta

Dalam hukum Indonesia, kontrak antara pemerintah dan pihak swasta dapat memiliki dua dimensi: hukum publik dan hukum perdata. Ketika pemerintah bertindak dalam kapasitasnya untuk mengelola aset atau melakukan perjanjian dengan pihak swasta, tindakan tersebut sering kali tunduk pada hukum perdata. Menurut Indroharto, ketika pemerintah mempertahankan hak-haknya, ia berperan sebagai badan hukum perdata, bukan sebagai badan hukum publik. 

Dalam konteks ini, perjanjian antara Pemerintah Provinsi NTB dan PT Lombok Plaza merupakan kontrak perdata yang mengikat kedua belah pihak. Jika salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya (wanprestasi), maka pihak lainnya berhak menuntut pemenuhan prestasi atau ganti rugi melalui mekanisme perdata.

Teori Wanprestasi dalam Hukum Perdata

Wanprestasi terjadi ketika salah satu pihak dalam perjanjian tidak memenuhi atau lalai dalam melaksanakan kewajibannya sebagaimana disepakati. Pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) menyatakan bahwa debitur dinyatakan lalai apabila ia tidak memenuhi prestasinya setelah diberi peringatan (somasi). Dalam kasus ini, PT Lombok Plaza diduga tidak memenuhi kewajibannya untuk membangun NCC dan memberikan kompensasi kepada pemerintah, yang dapat dikategorikan sebagai wanprestasi.

Aspek Tanggung Gugat dalam Kontrak Pemerintah

Pemerintah, sebagai subjek hukum, memiliki dua kedudukan: sebagai badan hukum publik dan sebagai subjek hukum perdata. Dalam melakukan perjanjian dengan pihak swasta, pemerintah bertindak dalam kapasitasnya sebagai subjek hukum perdata. Oleh karena itu, dalam hal terjadi wanprestasi oleh mitra swasta, pemerintah dapat mengajukan gugatan perdata untuk menuntut pemenuhan kewajiban atau ganti rugi. 

Analisis Kasus Mantan Sekda NTB

Meskipun kasus ini telah ditangani sebagai perkara pidana dengan tuduhan korupsi, penting untuk mempertimbangkan bahwa inti permasalahan berasal dari wanprestasi dalam perjanjian antara pemerintah dan PT Lombok Plaza. Jika terbukti bahwa kerugian negara disebabkan oleh kelalaian atau ketidakmampuan PT Lombok Plaza dalam memenuhi kewajibannya, maka penyelesaian melalui mekanisme perdata dapat lebih tepat.

Kesimpulan

Kasus yang melibatkan mantan Sekda NTB terkait proyek NCC memiliki dimensi perdata yang signifikan, mengingat adanya kontrak antara pemerintah dan pihak swasta. Pendekatan melalui mekanisme hukum perdata, seperti gugatan wanprestasi, dapat menjadi alternatif dalam menyelesaikan sengketa ini, terutama jika fokus utamanya adalah pemulihan kerugian negara akibat pelanggaran kontrak.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sengketa Perdata Disulap Jadi Tipikor: Analisis Penyalahgunaan Kewenangan dalam Penegakan Hukum

Kewenangan Presiden dan DPR dalam Pembentukan Undang-Undang di Indonesia: Perspektif Hukum Tata Negara

Opini "Sertifikat Laut, Terobosan Tanpa Tepi"