Legal Reasoning
POSISI KASUS
Perjanjian Kerjasama antara Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan PT. Lombok Plaza.
Pada tahun 2012, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (Pemprov NTB) menjalin kerja sama dengan PT Lombok Plaza untuk memanfaatkan lahan seluas 31.963 meter persegi di Jalan Bung Karno, Mataram. Kerja sama ini bertujuan membangun NTB City Center (NCC) melalui skema Bangun Guna Serah (BGS), dengan nilai investasi lebih dari Rp400 miliar. Namun, proyek tersebut tidak berjalan sesuai rencana; hingga kini, gedung yang dijanjikan tak pernah dibangun, dan lahan masih dikuasai oleh PT Lombok Plaza tanpa adanya pembayaran kompensasi kepada Pemprov NTB.
Akibat penyimpangan dalam pengelolaan aset ini, negara mengalami kerugian yang signifikan. Hasil audit akuntan publik mengungkapkan kerugian negara mencapai Rp15,2 miliar. Kerugian ini disebabkan oleh tidak terpenuhinya kewajiban PT Lombok Plaza sesuai perjanjian kerja sama, termasuk pembangunan gedung yang tidak terealisasi dan tidak adanya setoran kompensasi pembayaran kepada pihak Pemprov NTB.
Berkaca dari kronologis di atas dan dokumen pendukung lainnya, sangat beralasan hukum adanya kekeliruan cara pandang apabila hal ini dibawa ke ranah pidana.
1. WANPRESTASI MERUPAKAN RANAH PERDATA, BUKAN PIDANA
1.1. Konsep Wanprestasi dalam Hukum Perdata
Suatu perjanjian yang dilanggar oleh salah satu pihak menimbulkan akibat hukum dalam ranah perdata, bukan pidana. Perbedaan fundamental antara wanprestasi dan tindak pidana terletak pada adanya unsur kesengajaan dan niat jahat dalam tindak pidana, yang tidak ditemukan dalam kasus wanprestasi.
Jika perjanjian yang dibuat secara sah mengalami pelanggaran oleh salah satu pihak, maka konsekuensi hukumnya adalah tuntutan ganti rugi atau pemenuhan prestasi berdasarkan mekanisme hukum perdata, bukan pidana.
1.1.1. Dasar Hukum:
Pasal 1338 KUH Perdata: Menegaskan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak. Ini berarti, pelanggaran kontrak harus diselesaikan berdasarkan mekanisme yang telah disepakati, bukan melalui kriminalisasi pihak yang dianggap melanggar.
Pasal 1365 KUH Perdata: Menegaskan bahwa perbuatan melawan hukum hanya menimbulkan kewajiban ganti rugi jika ada kesalahan yang menyebabkan kerugian. Dalam konteks wanprestasi, kesalahan dalam pelaksanaan kontrak tidak otomatis menjadi kejahatan, kecuali ada unsur penipuan atau niat jahat yang disengaja.
Putusan Mahkamah Agung RI No. 1474 K/Pdt/1989: Mahkamah Agung menegaskan bahwa jika suatu kasus lebih tepat ditangani melalui jalur perdata, maka pemidanaan harus dikesampingkan, kecuali ada bukti konkret bahwa pelanggaran perjanjian dilakukan dengan niat curang atau melawan hukum.
1.2. Perjanjian Belum Dibatalkan, Maka Masih Berlaku
Perjanjian antara Pemprov NTB dan PT. Lombok Plaza masih berlaku karena belum ada pembatalan secara sah. Dalam hukum perdata, selama suatu perjanjian belum dibatalkan oleh pengadilan atau secara mutual oleh para pihak, maka perjanjian tersebut tetap sah dan mengikat.
1.2.1. Konsekuensi Hukum:
Jika PT. Lombok Plaza tidak memenuhi kewajibannya, langkah yang harus diambil oleh Pemprov NTB adalah mengajukan gugatan wanprestasi, bukan melaporkan kasus ini sebagai tindak pidana.
Pasal 1266 KUH Perdata menyatakan bahwa pembatalan kontrak hanya bisa dilakukan melalui putusan pengadilan atau kesepakatan kedua belah pihak. Oleh karena itu, jika tidak ada putusan yang menyatakan perjanjian batal, hak dan kewajiban para pihak tetap harus dijalankan.
2. KERUGIAN NEGARA BELUM DAPAT DIHITUNG (PREMATUR)
2.1. Kerugian Negara Harus Bersifat Nyata dan Final
Dalam sistem hukum pidana, kerugian negara harus benar-benar dapat dihitung dan dipastikan keberadaannya sebelum suatu tindakan dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016 menyatakan bahwa kerugian negara yang bersifat potensial atau dugaan tidak dapat dijadikan dasar pemidanaan dalam kasus korupsi. Dengan kata lain, selama perhitungan kerugian belum final, maka tuduhan terhadap seseorang tidak dapat dikatakan memiliki dasar hukum yang kuat.
2.1.1. Dasar Hukum:
Pasal 1 angka 22 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara: Menggarisbawahi bahwa kerugian negara harus berupa kekurangan uang, surat berharga, atau barang yang benar-benar terjadi dan dapat dibuktikan secara akurat.
SEMA No. 4 Tahun 2016: Mempertegas bahwa hanya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang memiliki kewenangan konstitusional untuk menyatakan adanya kerugian negara.
2.1.2. Tahapan Pembuktian Kerugian Negara:
Kerugian negara harus memiliki dasar perhitungan yang jelas, yang hanya bisa dilakukan oleh auditor yang kompeten.
Jika perhitungan masih berbasis asumsi atau estimasi, maka belum dapat dikatakan sebagai kerugian negara yang nyata dan final.
3. ARGUMENTASI HUKUM
3.1. Kewenangan BPK sebagai Penentu (Declared) Kerugian Negara
Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) UU No. 15 Tahun 2004, hanya BPK yang berwenang menetapkan adanya kerugian negara. Oleh karena itu, penyidik atau aparat penegak hukum tidak dapat serta-merta menyatakan adanya kerugian negara tanpa perhitungan resmi dari BPK.
3.1.1. Implikasi Hukum:
Jika dalam perkara ini kerugian negara hanya dihitung oleh lembaga selain BPK, maka hasil perhitungan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum yang sah sebagai bukti di pengadilan.
4. PERTANGGUNGJAWABAN DALAM RANAH HUKUM ADMINISTRASI
4.1. Jabatan Sebagai Sekda, Bukan Pelaksana Proyek
Dalam sistem hukum administrasi, pejabat yang bertindak dalam kapasitas jabatannya tidak dapat dipidana kecuali terbukti melakukan penyalahgunaan wewenang dengan tujuan memperkaya diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum.
Berdasarkan Pasal 1 angka 5 UU Administrasi Pemerintahan (UU No. 30 Tahun 2014), kebijakan administratif yang diambil oleh pejabat pemerintahan dapat diuji melalui PTUN, bukan melalui mekanisme pidana.
5. KASUS INI HARUS DISELESAIKAN MELALUI MEKANISME PERDATA ATAU ADMINISTRASI
5.1. Sengketa Kontrak dalam Hukum Administrasi
Sengketa kontrak antara Pemprov NTB dan PT. Lombok Plaza tidak dapat langsung dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi, kecuali ada bukti bahwa kontrak tersebut dibuat dengan niat jahat dan merugikan negara secara sengaja.
Berdasarkan Pasal 18 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2014, pejabat yang mengeluarkan keputusan dalam ruang lingkup tugasnya tidak dapat dipidana jika tidak ada unsur penyalahgunaan kewenangan secara nyata, hal ini dapat diselesaikan melalui mekanisme administratif.
KESIMPULAN
1. Wanprestasi dalam perjanjian ini merupakan ranah hukum perdata, bukan pidana. Jika PT. Lombok Plaza tidak memenuhi kewajibannya, Pemprov NTB harus melakukan gugatan wanprestasi, bukan diproses dengan mekanisme tindak pidana.
2. Kerugian negara belum bisa dihitung karena perjanjian masih berlaku dan belum dibatalkan. Berdasarkan putusan MK dan yurisprudensi, dugaan kerugian negara harus nyata dan final, bukan sekadar potensi.
3. Kasus ini harus diselesaikan melalui mekanisme perdata atau administrasi, bukan pidana. Berdasarkan perjanjian, sengketa harus diselesaikan melalui arbitrase atau gugatan perdata bukan melalui pemidanaan.
Legal reasoning ini memperkuat argumen bahwa kasus ini bukan tindak pidana korupsi, melainkan murni perdata
Komentar
Posting Komentar