OPINI HUKUM

PERTANGGUNGJAWABAN DALAM KASUS NCC

Pendahuluan

Kasus Nusa Tenggara Convention Center (NCC) di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) telah menimbulkan perdebatan mengenai pertanggungjawaban hukum mantan Gubernur NTB, Tuan Guru Bajang (TGB), dan mantan Sekretaris Daerah (Sekda) NTB, Dr. Rosiady Husaenie Sayuti.

Berdasarkan analisis hukum, baik TGB maupun mantan Sekda tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana karena permasalahan dalam kasus ini bersumber dari hubungan hukum perdata antara pemerintah dan pihak ketiga (swasta), serta tidak ada perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh mantan Sekda. Selain itu, dugaan kerugian negara tidak dapat dihitung karena kontrak masih berjalan.


I. Posisi Hukum Mantan Gubernur NTB (TGB)

  1. Peran dalam Penandatanganan MoU

    • TGB, sebagai Gubernur saat itu, hanya menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan PT Lombok Plaza terkait rencana pembangunan NCC.
    • MoU bersifat tidak mengikat, hanya mencerminkan kesepakatan awal, bukan kontrak definitif yang menimbulkan hak dan kewajiban hukum yang mengikat.
    • Oleh karena itu, penandatanganan MoU tidak dapat dijadikan dasar pertanggungjawaban pidana terhadap TGB.
  2. Keterlibatan dalam Aspek Teknis

    • Setelah MoU ditandatangani, proses teknis sepenuhnya dilaksanakan oleh pejabat terkait, seperti Sekda dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
    • TGB tidak memiliki peran langsung dalam pengaturan teknis dan administratif proyek NCC, sehingga tidak dapat dimintai pertanggungjawaban hukum.

II. Posisi Hukum Mantan Sekda NTB (Dr. Rosiady Husaenie Sayuti)

  1. Peran dalam Pelaksanaan Kontrak

    • Sebagai Sekda, Dr. Rosiady menandatangani perjanjian kerja sama antara Pemprov NTB dan PT Lombok Plaza.
    • Perjanjian ini bersifat perdata, mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak berdasarkan prinsip wanprestasi (cidera janji).
    • Dalam sistem hukum Indonesia, sengketa dalam kontrak harus diselesaikan melalui jalur perdata, bukan pidana.
  2. Tidak Ada Perbuatan Melawan Hukum

    • Tidak ditemukan fakta bahwa mantan Sekda menyalahgunakan kewenangannya atau melakukan perbuatan melawan hukum.
    • Semua keputusan yang diambil didasarkan pada ketentuan perjanjian kerja sama, yang masih berlaku.
    • Dalam hukum administrasi, selama keputusan yang diambil sesuai prosedur dan tidak melanggar aturan, maka tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang.
  3. Kerugian Negara Tidak Bisa Dihitung Karena Kontrak Masih Berjalan

    • Dalam kasus dugaan korupsi, kerugian negara harus dihitung berdasarkan kerugian nyata dan final.
    • Jika kontrak masih berjalan, tidak dapat dikatakan ada kerugian negara karena hak dan kewajiban para pihak masih berlangsung.
    • Prinsip ini didukung oleh berbagai putusan Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa selama perjanjian belum selesai, potensi kerugian negara belum dapat dihitung.

III. Analisis Hukum: Perdata vs. Pidana

  1. Hubungan Hukum Perdata

    • Kasus NCC adalah perjanjian kerja sama antara Pemprov NTB dan PT Lombok Plaza, yang bersifat perdata.
    • Jika terdapat wanprestasi dalam pelaksanaan kontrak, maka penyelesaiannya melalui jalur perdata, bukan pidana.
  2. Tidak Ada Unsur Pidana

    • Tidak ada bukti adanya niat jahat (mens rea) atau unsur korupsi dalam pelaksanaan proyek NCC.
    • Dugaan kerugian negara tidak dapat dijadikan dasar kasus pidana, karena nilai kontrak masih dalam proses pelaksanaan.

IV. Kesimpulan

  1. Mantan Gubernur NTB (TGB) tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana karena hanya menandatangani MoU yang tidak mengikat secara hukum, serta tidak terlibat dalam aspek teknis dan operasional proyek.

  2. Mantan Sekda NTB (Dr. Rosiady Husaenie Sayuti) juga tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana karena:

    • Tidak ada perbuatan melawan hukum yang dilakukan.
    • Kontrak masih berjalan, sehingga dugaan kerugian negara belum dapat dihitung secara pasti.
    • Kasus ini bersifat perdata, dan jika ada pelanggaran, penyelesaiannya harus melalui jalur hukum perdata, bukan pidana.

Dengan demikian, kasus NCC seharusnya diselesaikan melalui mekanisme perdata, bukan dengan pendekatan pidana.

Pendapat hukum diperkuat dengan referensi:

1. Pendapat Ahli Hukum

Prof. Dr. Andi Hamzah dalam bukunya "Asas-Asas Hukum Pidana", menyatakan bahwa dalam perkara yang berkaitan dengan kontrak atau perjanjian, jika tidak ada unsur perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang yang menimbulkan kerugian negara, maka penyelesaian sengketa seharusnya dilakukan melalui jalur perdata.

Prof. Dr. Muladi, S.H. menegaskan bahwa unsur mens rea (niat jahat) harus selalu dibuktikan dalam kasus pidana. Dalam sengketa yang bersumber dari hubungan hukum perdata, seperti wanprestasi kontrak, tidak dapat serta merta dibawa ke ranah pidana tanpa adanya unsur pidana yang jelas.

2. Yurisprudensi (Putusan Mahkamah Agung)

Putusan Mahkamah Agung RI No. 123 PK/Pid.Sus/2014 menyatakan bahwa dalam hal suatu perjanjian yang masih berjalan dan belum ada kerugian negara yang nyata, maka penyelesaian sengketa harus melalui hukum perdata, bukan pidana.

Putusan Mahkamah Agung RI No. 1061 K/Pid/2006 menegaskan bahwa perbuatan wanprestasi dalam hubungan kontrak tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana kecuali ada bukti penyalahgunaan wewenang yang melanggar hukum pidana.

3. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK)

Putusan MK No. 003/PUU-IV/2006 menyatakan bahwa prinsip kepastian hukum harus dijunjung tinggi dalam penegakan hukum, dan permasalahan yang berasal dari hubungan hukum perdata harus diselesaikan melalui mekanisme perdata, bukan pidana, kecuali terdapat unsur pidana yang nyata.

4. Hasil Pleno Rumusan Kamar Pidana dan Kamar Perdata

Rumusan Kamar Pidana Mahkamah Agung Tahun 2019 menyatakan bahwa jika suatu perkara berkaitan dengan perjanjian kerja sama atau kontrak yang belum selesai, maka tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana selama tidak ada unsur perbuatan melawan hukum.

Rumusan Kamar Perdata Mahkamah Agung Tahun 2016 menyatakan bahwa penyelesaian sengketa terkait perjanjian kerja sama harus dilakukan melalui mekanisme perdata, khususnya jika terkait dengan wanprestasi.

5. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) RI

SEMA No. 4 Tahun 2016 menegaskan bahwa permasalahan yang timbul dari hubungan kontraktual dan tidak ada unsur perbuatan melawan hukum harus diselesaikan melalui jalur perdata, bukan pidana.

SEMA No. 10 Tahun 2020 mengatur bahwa kerugian negara harus dihitung secara nyata dan final dalam perkara pidana korupsi, dan selama proses kontrak masih berjalan, maka kerugian negara belum dapat dihitung dengan pasti.

Dengan demikian, berdasarkan pendapat ahli hukum, yurisprudensi, putusan MK, hasil pleno kamar pidana dan perdata, serta SEMA di atas, dapat disimpulkan bahwa kasus yang bersumber dari hubungan hukum perdata seperti perjanjian kerja sama tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana jika tidak ada perbuatan melawan hukum atau niat jahat yang menimbulkan kerugian negara.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sengketa Perdata Disulap Jadi Tipikor: Analisis Penyalahgunaan Kewenangan dalam Penegakan Hukum

Kewenangan Presiden dan DPR dalam Pembentukan Undang-Undang di Indonesia: Perspektif Hukum Tata Negara

Opini "Sertifikat Laut, Terobosan Tanpa Tepi"