ANALISA KRITIS TERHADAP PEMBATASAN TRANSAKSI BANK NTB SYARIAH DI AKHIR RAMADAN: DUGAAN PRAKTIK MONOPOLI DAN TANGGUNG JAWAB REGULATOR
I. Latar Belakang Masalah
Bank NTB Syariah, sebuah bank daerah yang beroperasi di bawah prinsip syariah, menerapkan kebijakan pembatasan layanan transaksi antar bank dari tanggal 28 Maret hingga 11 April 2025. Nasabah dilaporkan tidak dapat menggunakan layanan QRIS maupun melakukan transfer antar bank (kecuali antar rekening Bank NTB Syariah). Keputusan ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah kebijakan ini sah secara hukum, sesuai prinsip syariah, dan tidak melanggar asas persaingan usaha yang sehat?
II. Potensi Pelanggaran Regulasi dan Praktik Monopoli
-
Pelanggaran terhadap Prinsip Keterbukaan dan Fairness dalam Layanan Perbankan
Dalam hukum perlindungan konsumen (UU No. 8 Tahun 1999), serta peraturan OJK dan Bank Indonesia, bank wajib menyediakan layanan keuangan secara adil, transparan, dan tidak diskriminatif. Pembatasan transaksi antar bank dalam sistem yang terintegrasi secara nasional (seperti BI-FAST atau QRIS) dapat dipandang sebagai bentuk penghalangan akses layanan keuangan.
-
Monopoli dalam Perspektif UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Jika pembatasan ini bersifat sistemik dan disengaja untuk memaksa nasabah hanya menggunakan layanan internal Bank NTB Syariah, maka ini bisa masuk dalam kategori penyalahgunaan posisi dominan, terutama karena bank tersebut memiliki status sebagai bank daerah yang relatif dominan di NTB. Hal ini dapat menyebabkan efek lock-in (penguncian nasabah) yang tidak sehat bagi ekosistem keuangan daerah.
-
Pelanggaran terhadap Prinsip Syariah
Prinsip-prinsip syariah menekankan keadilan (‘adl), kemaslahatan (maslahah), dan menghindari mudarat. Pembatasan layanan yang mengakibatkan kerugian transaksi bagi nasabah, terutama saat kebutuhan transaksi tinggi di bulan Ramadhan dan Idulfitri, tidak sejalan dengan maqashid syariah. Ini bertolak belakang dengan nilai-nilai syariah yang dijunjung dalam operasional bank syariah.
III. Peran dan Kewajiban OJK dan Bank Indonesia
-
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai pengawas industri perbankan harus menyelidiki kebijakan operasional ini karena berpotensi menimbulkan risiko sistemik dalam layanan pembayaran regional dan menyalahi asas perlindungan konsumen.
-
Bank Indonesia, sebagai pengatur sistem pembayaran nasional (QRIS, BI-FAST), perlu mengevaluasi apakah pembatasan akses transaksi antarbank ini dilakukan dengan justifikasi teknis yang valid atau sekadar pembenaran atas kebijakan tertutup.
IV. Rekomendasi Strategis
-
Audit Khusus oleh OJK dan BI: Melakukan investigasi dan audit terhadap sistem TI, kebijakan operasional, dan dasar manajemen risiko Bank NTB Syariah selama periode pembatasan.
-
Peningkatan Transparansi Publik: Bank NTB Syariah wajib memberikan penjelasan tertulis yang detail kepada publik mengenai alasan dan dampak dari pembatasan transaksi tersebut.
-
Sanksi Jika Terbukti Melanggar: Apabila ditemukan bukti adanya praktik diskriminatif atau dominasi pasar yang merugikan nasabah, maka sanksi administratif dan rekomendasi perbaikan harus segera diberlakukan oleh regulator.
V. Kesimpulan
Kebijakan pembatasan layanan transaksi oleh Bank NTB Syariah mengandung potensi pelanggaran prinsip hukum persaingan usaha, perlindungan konsumen, dan prinsip-prinsip syariah. OJK dan Bank Indonesia sebagai otoritas keuangan harus segera mengambil tindakan evaluatif dan korektif. Praktik seperti ini, jika dibiarkan, akan menjadi preseden buruk bagi industri perbankan syariah dan memperlemah kepercayaan masyarakat terhadap layanan keuangan yang inklusif dan adil.
Komentar
Posting Komentar