"Antara Keadilan dan Tekanan: Ketika Pengakuan Jadi Tolok Ukur Tuntutan Jaksa"


Dalam sistem peradilan pidana Indonesia, hak-hak terdakwa merupakan elemen fundamental yang dijamin oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan, khususnya dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Namun dalam praktik persidangan, sering muncul fenomena yang memprihatinkan, yaitu ketika Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyandarkan berat-ringannya tuntutan pada sejauh mana terdakwa menunjukkan sikap kooperatif, khususnya dalam hal mengakui perbuatannya. Jika terdakwa memilih menggunakan haknya untuk membantah dakwaan atau memberikan keterangan yang menurutnya benar, tanpa mengakui kesalahan yang dituduhkan, maka keterangan tersebut kerap dianggap berbelit-belit atau tidak jujur oleh JPU.

Padahal, Pasal 52 KUHAP dengan jelas menyatakan bahwa terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas di hadapan penyidik maupun hakim. Hak ini merupakan bagian dari prinsip fair trial yang seharusnya dihormati oleh seluruh aparat penegak hukum. Selain itu, Pasal 54 KUHAP menjamin hak terdakwa untuk didampingi penasihat hukum sejak tingkat penyidikan hingga pemeriksaan di pengadilan, agar dapat membela diri secara maksimal.

Ironisnya, ketika terdakwa menggunakan hak-haknya tersebut, sikapnya bisa saja dimaknai sebagai kurang kooperatif oleh JPU, yang kemudian tercermin dalam amar tuntutan. Ini menciptakan kesan bahwa terdakwa hanya akan “diuntungkan” jika mengakui seluruh tuduhan, terlepas dari apakah ia benar-benar melakukannya atau tidak. Sikap seperti ini membuka ruang bagi penyalahgunaan kekuasaan, mengaburkan batas antara upaya menegakkan hukum dan tekanan psikologis terhadap seseorang yang justru sedang menjalani proses hukum yang menjunjung asas praduga tak bersalah.

Sikap profesional menuntut JPU agar tetap objektif, menjunjung tinggi asas legalitas, dan menjamin bahwa proses peradilan berjalan adil tanpa intimidasi, baik secara langsung maupun tersirat. Menekan terdakwa untuk mengakui perbuatannya melalui ancaman hukuman yang lebih berat, dapat dianggap sebagai bentuk ketidakprofesionalan dan pelanggaran terhadap etika profesi, serta berpotensi mencederai integritas lembaga penuntutan itu sendiri.

Dalam konteks ini, penting untuk mengingat bahwa tugas JPU bukan semata-mata untuk menghukum, tetapi juga untuk menegakkan keadilan. Prinsip tersebut tercermin dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, di mana JPU diwajibkan menjalankan tugas secara objektif dan profesional dalam mewakili kepentingan negara dan masyarakat.

Oleh karena itu, kritik terhadap sikap JPU yang cenderung mengedepankan kekuasaan harus dilihat sebagai upaya memperbaiki wajah peradilan pidana kita. Penegakan hukum yang adil tidak akan tercapai jika tekanan dan intimidasi terhadap terdakwa dijadikan alat untuk memperoleh pengakuan. Pengakuan seharusnya muncul dari kesadaran, bukan dari rasa takut akan tuntutan yang diperberat. Negara hukum harus menjamin bahwa keadilan tidak diperoleh melalui pemaksaan, tetapi melalui proses hukum yang manusiawi dan bermartabat.

Referensi:

  • Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
  • Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
  • Hukumonline.com, “Hak Terdakwa atas Pembelaan (Pledoi) dalam Sidang Pidana”
  • Jurnal Hukum Holrev, Universitas Halu Oleo, “Peran dan Tanggung Jawab Jaksa Penuntut Umum dalam Sistem Peradilan Pidana”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sengketa Perdata Disulap Jadi Tipikor: Analisis Penyalahgunaan Kewenangan dalam Penegakan Hukum

Kewenangan Presiden dan DPR dalam Pembentukan Undang-Undang di Indonesia: Perspektif Hukum Tata Negara

Opini "Sertifikat Laut, Terobosan Tanpa Tepi"