Paradoks Profesionalisme Jaksa Penuntut Umum: Kritik terhadap Tekanan Psikologis terhadap Terdakwa dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia
Penulis: Ainuddin
Institusi: Unizar Mataram
Email: ainuddin@unizar.ac.id
Abstrak
Praktik penuntutan dalam sistem peradilan pidana Indonesia menunjukkan kecenderungan Jaksa Penuntut Umum (JPU) menilai berat-ringannya tuntutan pidana berdasarkan pengakuan terdakwa. Ketika terdakwa tidak mengakui perbuatannya dan memilih untuk membela diri, ia kerap dianggap berbelit-belit atau tidak kooperatif. Fenomena ini menjadi problematis karena bertentangan dengan asas presumption of innocence, prinsip fair trial, dan perlindungan hak terdakwa dalam hukum acara pidana. Artikel ini menganalisis secara kritikal dan yuridis-normatif praktik tekanan psikologis terhadap terdakwa yang dilakukan secara tersirat oleh JPU, serta dampaknya terhadap integritas peradilan pidana. Ditekankan bahwa praktik ini harus dikoreksi melalui penguatan profesionalisme dan objektivitas aparat penuntutan.
Kata Kunci: jaksa penuntut umum, tekanan psikologis, hak terdakwa, fair trial, due process of law.
Abstract
The prosecution practices in Indonesia’s criminal justice system demonstrate a tendency where public prosecutors assess the severity of criminal charges based on the defendant's confession. Defendants who choose to exercise their right to defend themselves without admitting guilt are often deemed uncooperative or inconsistent. This phenomenon contradicts the presumption of innocence, the principle of fair trial, and the protection of defendants’ rights under procedural law. This article critically and normatively analyzes the psychological pressure exerted by public prosecutors, whether explicitly or implicitly, and its impact on the integrity of criminal proceedings. The study underscores the need for reform through enhanced professionalism and prosecutorial objectivity.
Keywords: public prosecutor, psychological pressure, defendant's rights, fair trial, due process of law.
Pendahuluan
Sistem peradilan pidana idealnya bertumpu pada prinsip keadilan, objektivitas, dan penghormatan terhadap hak-hak asasi terdakwa. Namun dalam praktiknya, ditemukan bahwa Jaksa Penuntut Umum (JPU) sering kali menyandarkan berat-ringannya tuntutan pidana pada pengakuan terdakwa. Ketika terdakwa memilih untuk membantah dakwaan dan menggunakan hak pembelaannya, keterangan tersebut cenderung dinilai tidak kooperatif atau berbelit-belit. Hal ini menimbulkan ketimpangan struktural dalam relasi antara aparat penuntut dan terdakwa, serta memperlihatkan gejala tekanan psikologis terhadap terdakwa yang tidak sesuai dengan prinsip due process of law.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis-normatif dengan metode analisis kualitatif. Data diperoleh dari studi literatur terhadap peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, literatur hukum, serta instrumen hak asasi manusia internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Analisis dilakukan dengan meninjau norma-norma hukum acara pidana dan membandingkannya dengan praktik aktual di ruang sidang.
Hak Konstitusional Terdakwa dalam Perspektif KUHAP
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberikan perlindungan menyeluruh terhadap hak terdakwa. Pasal 52 KUHAP menegaskan bahwa terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas. Pasal 54 juga menjamin hak atas bantuan hukum yang memadai. Prinsip ini diperkuat dalam Konstitusi UUD 1945 Pasal 28D ayat (1) tentang jaminan perlakuan yang sama di hadapan hukum, serta dalam ratifikasi ICCPR melalui UU No. 12 Tahun 2005.
Penyimpangan Praktik Penuntutan oleh Jaksa
Dalam praktiknya, pengakuan sering dijadikan indikator utama oleh JPU untuk menilai sikap kooperatif terdakwa. Terdakwa yang membantah dakwaan atau menggunakan hak untuk tidak memberikan keterangan kerap diposisikan sebagai pihak yang mempersulit persidangan. Hal ini tidak hanya mereduksi makna pengakuan dalam hukum pembuktian (Pasal 184 KUHAP), tetapi juga melemahkan prinsip in dubio pro reo, yang mengharuskan keraguan ditafsirkan untuk kepentingan terdakwa (Marzuki, 2018).
Kritik Terhadap Tekanan Psikologis dalam Sidang
Tekanan psikologis dari JPU dapat muncul dalam berbagai bentuk, seperti narasi tuntutan yang menyudutkan, bahasa tubuh dalam ruang sidang, atau pertimbangan tuntutan yang memperberat hanya karena terdakwa tidak mengakui perbuatannya. Hal ini berpotensi melanggar asas nemo tenetur se ipsum accusare, yakni hak untuk tidak memberikan keterangan yang memberatkan diri sendiri. Tekanan seperti ini menciptakan iklim ketakutan dan kontraproduktif terhadap tujuan keadilan.
Dampak terhadap Integritas Proses Peradilan
Tekanan terselubung terhadap terdakwa bukan hanya bentuk pelanggaran etik, tetapi juga dapat memicu pengakuan palsu (false confession), kesalahan penghukuman (miscarriage of justice), dan perusakan kepercayaan publik terhadap institusi peradilan. Menurut Sulistyowati (2020), profesionalisme penuntut umum harus diukur dari ketajaman analisis hukum dan ketepatan penerapan alat bukti, bukan dari kepatuhan terdakwa terhadap tuntutan pengakuan.
Urgensi Reformasi dan Penataan Etika Penuntutan
Reformasi peradilan pidana harus mencakup peningkatan standar etik dan evaluasi terhadap pola pikir yang menjadikan pengakuan sebagai syarat mendapatkan keringanan tuntutan. Jaksa harus kembali pada prinsip dasar sebagai penjaga keadilan dan bukan sebagai alat pembenaran kekuasaan. Pembinaan terhadap jaksa perlu diarahkan pada pemahaman bahwa membela hak terdakwa bukanlah bentuk pelemahan hukum, melainkan perwujudan keadilan substantif.
Kesimpulan
Praktik JPU yang menjadikan pengakuan terdakwa sebagai indikator utama dalam penentuan tuntutan pidana merupakan penyimpangan terhadap prinsip-prinsip hukum acara pidana yang menjunjung hak terdakwa, keadilan, dan objektivitas. Tekanan psikologis yang terjadi secara sistematis harus diakui sebagai bentuk ketidakprofesionalan dan harus diperbaiki melalui instrumen etik, pelatihan, dan pengawasan internal yang efektif.
Daftar Pustaka
Hukumonline. (2022). Hak terdakwa atas pembelaan (Pledoi) dalam sidang pidana. Retrieved from https://www.hukumonline.com/klinik/a/hak-terdakwa-atas-pembelaan-pledoi-dalam-sidang-pidana-lt6216925c94ec2/
Marzuki, P. M. (2018). Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana.
Republik Indonesia. (1981). Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Republik Indonesia. (2004). Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Republik Indonesia. (2005). Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).
Sulistyowati, R. (2020). Profesionalisme jaksa dalam sistem peradilan pidana. Jurnal Hukum & Keadilan, 15(2), 223–237.
Universitas Halu Oleo. (2020). Peran dan tanggung jawab Jaksa Penuntut Umum dalam sistem peradilan pidana. Jurnal Hukum Holrev, 1(1), 1–15.
Komentar
Posting Komentar