Paradoks Profesionalisme Penuntut Umum: Kritik terhadap Tekanan Psikologis terhadap Terdakwa dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia
Penulis: Ainuddin
Institusi: Unizar Mataram
Email: ainuddin@unizar.ac.id
Abstrak
Dalam praktik peradilan pidana di Indonesia, kerap dijumpai kecenderungan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menjadikan pengakuan terdakwa sebagai dasar utama dalam menentukan sikap kooperatif terdakwa. Hal ini sering berdampak pada berat-ringannya tuntutan pidana yang diajukan. Fenomena ini menimbulkan persoalan serius mengenai objektivitas, profesionalisme, serta perlindungan hak asasi terdakwa dalam proses peradilan. Artikel ini bertujuan mengkritisi praktik tersebut melalui pendekatan yuridis-normatif berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan prinsip fair trial. Penulis berargumen bahwa praktik tekanan terhadap terdakwa agar mengakui perbuatannya, baik secara eksplisit maupun tersirat, merupakan bentuk penyimpangan terhadap asas due process of law dan berpotensi mendegradasi integritas sistem peradilan pidana.
Kata Kunci: penuntut umum, tekanan psikologis, fair trial, hak terdakwa, keadilan pidana
Abstract
In Indonesia’s criminal justice system, it is frequently observed that public prosecutors consider the defendant’s confession as a primary indicator of cooperation. This often influences the severity of the prosecutor’s sentencing demands. Such a phenomenon raises serious concerns regarding the objectivity, professionalism, and protection of defendants' human rights. This article critically examines this practice through a normative legal approach, referencing Law Number 8 of 1981 on Criminal Procedure and the principle of fair trial. The author argues that the application of psychological pressure to elicit confessions, whether explicit or implied, constitutes a deviation from the due process of law and risks degrading the integrity of the criminal justice system.
Keywords: public prosecutor, psychological pressure, fair trial, defendant’s rights, criminal justice
Pendahuluan
Sistem peradilan pidana idealnya menjamin keseimbangan antara penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia. Namun, dalam praktiknya, ditemukan pola bahwa Jaksa Penuntut Umum (JPU) kerap menjadikan sikap kooperatif terdakwa—terutama pengakuan terhadap perbuatan pidana—sebagai dasar utama dalam menyusun tuntutan pidana. Apabila terdakwa tidak mengakui perbuatan yang didakwakan dan memilih untuk menggunakan haknya dalam memberikan pembelaan, sikap tersebut justru sering dimaknai sebagai tindakan berbelit-belit yang memberatkan.
Pembahasan
KUHAP memberikan hak konstitusional kepada terdakwa untuk membela diri secara bebas (Pasal 52), serta hak atas bantuan hukum (Pasal 54). Penilaian terhadap sikap kooperatif yang dikaitkan dengan pengakuan justru bertentangan dengan asas presumption of innocence dan in dubio pro reo—dua prinsip fundamental dalam sistem hukum acara pidana. Selain itu, pengakuan sebagai alat bukti dalam Pasal 184 KUHAP tidak memiliki kekuatan absolut dan tidak seharusnya dijadikan satu-satunya tolok ukur dalam menilai kebenaran materiil.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia menekankan bahwa jaksa wajib menjalankan tugasnya secara profesional, objektif, dan menjunjung tinggi keadilan. Dengan demikian, segala bentuk tekanan terhadap terdakwa agar mengakui perbuatan yang belum terbukti secara sah melanggar prinsip legalitas dan asas due process of law. Praktik ini tidak hanya menyimpang dari nilai hukum, tetapi juga berisiko menghasilkan kesalahan penghukuman (miscarriage of justice) yang merusak kepercayaan publik terhadap sistem hukum.
Lebih jauh, pendekatan ini menggambarkan pergeseran orientasi dari model due process ke model crime control, di mana efisiensi dan pengakuan lebih diprioritaskan dibanding jaminan atas hak-hak terdakwa. Dalam kerangka negara hukum, penegakan hukum harus dilaksanakan dengan cara yang adil dan bermartabat, bukan melalui ancaman atau intimidasi terselubung terhadap seseorang yang secara hukum masih dalam posisi tidak bersalah.
Penutup
Praktik yang menekan terdakwa untuk mengakui kesalahan, baik secara langsung maupun melalui indikasi dalam tuntutan yang memberatkan, tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hukum acara pidana di Indonesia. Jaksa sebagai pengemban fungsi penuntutan publik harus menunjukkan integritas dan objektivitas dalam setiap tahap proses hukum. Ke depan, diperlukan pembaruan paradigma dalam proses penuntutan untuk memastikan bahwa keadilan tidak hanya menjadi retorika hukum, tetapi sungguh terwujud dalam pelaksanaannya.
Daftar Pustaka
Hukumonline. (2022). Hak Terdakwa atas Pembelaan (Pledoi) dalam Sidang Pidana. Retrieved from https://www.hukumonline.com/klinik/a/hak-terdakwa-atas-pembelaan-pledoi-dalam-sidang-pidana-lt6216925c94ec2/
Republik Indonesia. (1981). Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76.
Republik Indonesia. (2004). Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67.
Universitas Halu Oleo. (2020). Peran dan Tanggung Jawab Jaksa Penuntut Umum dalam Sistem Peradilan Pidana. Jurnal Hukum Holrev, 1(1), 1–15.
Komentar
Posting Komentar