Peradilan dalam Bayang-Bayang Jaksa: Ketika Independensi Hakim Diterpa Badai Relasi Kuasa”

Opini oleh: DR. AINUDDIN, S.H., M.H.

Kasus suap vonis lepas dalam perkara korupsi minyak goreng yang melibatkan empat hakim dan panitera dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan merupakan pukulan telak bagi integritas lembaga peradilan. Mahkamah Agung yang kemudian mengambil langkah memberhentikan sementara para hakim tersebut menunjukkan itikad baik dalam penegakan etik internal, namun masalah utamanya jauh lebih kompleks: mengakar pada relasi kuasa yang tidak sehat antara hakim dan jaksa penuntut umum.

Sudah menjadi rahasia umum di kalangan praktisi hukum bahwa relasi antara hakim dan jaksa sering kali berada dalam wilayah abu-abu. Kedekatan yang bersifat informal dan struktural ini pada akhirnya menciptakan ketergantungan psikologis maupun profesional yang mengancam asas independensi kekuasaan kehakiman sebagaimana dijamin dalam Pasal 24 UUD 1945 dan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam praktiknya, banyak hakim justru terjebak dalam pola pikir "tidak berani melawan jaksa", bahkan dalam kasus di mana dakwaan terbukti cacat logika dan hukum.

Tidak sedikit pula hakim yang "bermain aman" dan memutus sesuai arah dakwaan, sekalipun kejanggalan materiil begitu kentara. Dalam banyak perkara, terutama pidana, pertimbangan hakim nyaris menjadi "duplikasi" dari surat tuntutan jaksa. Akibatnya, proses peradilan yang mestinya objektif, merdeka, dan berpihak pada kebenaran hukum, terdistorsi menjadi kepanjangan tangan dari aparat penuntutan.

Lebih mengkhawatirkan lagi, munculnya fakta bahwa kini bukan hanya jaksa yang bisa "menyeret" hakim ke ranah pidana karena suap, tapi juga hakim yang "takluk" pada jaringan kekuasaan yang disuplai oleh sistem jaksa. Fenomena saling sandera antara lembaga — jaksa mengawasi hakim, dan hakim takut pada jaksa — telah menciptakan ketegangan sistemik yang rawan disalahgunakan untuk kepentingan pragmatis maupun transaksional.

Kejaksaan Agung memang layak diapresiasi karena telah membongkar praktik suap dalam perkara korupsi migor. Namun penindakan ini seharusnya menjadi momentum untuk mereformasi hubungan kerja antara penuntut umum dan hakim. Tidak boleh ada lagi hubungan "istimewa" di luar ruang sidang. Hakim seharusnya menilai perkara berdasarkan fakta persidangan, bukan berdasarkan tekanan institusi atau relasi yang bersifat pribadi maupun politis.

Sudah waktunya Mahkamah Agung meninjau ulang praktik informal antara hakim dan jaksa. Salah satu langkah konkret adalah dengan membuat kode etik larangan interaksi non-prosedural antara keduanya, serta memperkuat pengawasan internal melalui Komisi Yudisial dan mekanisme pelaporan transparan oleh advokat dan pencari keadilan.

Independensi kehakiman adalah benteng terakhir demokrasi. Jika hakim tunduk pada tekanan eksternal, apalagi dari jaksa yang sejatinya hanya salah satu pihak dalam persidangan, maka cita-cita keadilan berubah menjadi ilusi. Skandal ini bukan sekadar persoalan moral individu, tapi peringatan keras bahwa sistem peradilan kita sedang sakit, dan perlu terapi struktural, bukan sekadar kosmetik etik semata.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sengketa Perdata Disulap Jadi Tipikor: Analisis Penyalahgunaan Kewenangan dalam Penegakan Hukum

Kewenangan Presiden dan DPR dalam Pembentukan Undang-Undang di Indonesia: Perspektif Hukum Tata Negara

Opini "Sertifikat Laut, Terobosan Tanpa Tepi"