Ketika Lawyer Pribadi Menjawab Urusan Daerah: Antara Kekuasaan dan Kekeliruan Etika Administrasi

Ketika Lawyer Pribadi Menjawab Urusan Daerah: Antara Kekuasaan dan Kekeliruan Etika Administrasi


Oleh: Dr. Ainuddin, S.H., M.H.

Advokat dan Akademisi Hukum Tata Negara, Dekan Fakultas Hukum UNIZAR Mataram.

Beberapa hari terakhir, publik NTB disuguhi perdebatan terbuka antara seorang Guru Besar Hukum Tata Negara dan seorang pengacara yang mewakili Gubernur. Perdebatan ini bukan sekadar silang pendapat akademik, melainkan menyimpan gejala penting yang perlu dikritisi secara mendalam: mengapa urusan pemerintahan daerah dijawab oleh pengacara pribadi seorang Gubernur? Adakah urgensi hukum yang membenarkannya? Dan siapa yang membiayai kerja hukum tersebut?

Kita tahu, jabatan Gubernur adalah jabatan publik, bukan posisi privat. Ketika Gubernur menjalankan tugasnya sebagai kepala daerah, maka semua tindakan, keputusan, bahkan pernyataannya, wajib tunduk pada prinsip administrasi negara yang legal, akuntabel, dan berbasis struktur. Gubernur bukan orang perorangan, melainkan representasi kelembagaan daerah—yang dalam menjalankan fungsi, telah dibekali perangkat resmi: Biro Hukum, Staf Ahli, bahkan Juru Bicara Pemerintah Daerah.

Maka menjadi janggal ketika pendapat ilmiah Prof. Sudiarto yang mengkritisi proses seleksi direksi BUMD dijawab oleh seorang pengacara, alih-alih oleh Gubernur secara langsung atau biro hukum pemda. Meskipun tidak ada larangan eksplisit dalam undang-undang bahwa pejabat publik boleh menunjuk pengacara pribadi, namun tidak adanya larangan bukan berarti menjadikannya pantas dan patut.

Pertanyaan kritisnya adalah: Siapa yang membiayai lawyer tersebut? Jika dibayar dengan dana APBD, apakah ada dasar hukumnya? Apakah pengadaan jasanya melalui mekanisme resmi? Jika tidak, dan dibayar oleh dana pribadi Gubernur, maka lebih berbahaya lagi: mengapa urusan resmi negara harus dibiayai secara personal? Bukankah itu bentuk deviasi terhadap pemisahan yang tegas antara domain privat dan domain publik?

Keterlibatan pengacara pribadi dalam menjawab urusan pemerintahan membuka dua bahaya laten. Pertama, pembelokan struktur pemerintahan, di mana fungsi-fungsi kelembagaan yang seharusnya bersuara, menjadi diam karena peran itu diambil alih oleh pihak luar. Kedua, pembentukan preseden keliru: bahwa pejabat publik dapat membungkam kritik akademik bukan dengan argumentasi birokratik, tetapi dengan kuasa representasi hukum privat.

Padahal, dalam sistem demokrasi yang sehat, kritik ilmiah adalah vitamin bagi tata kelola negara. Tugas pejabat adalah menjawab kritik dengan logika hukum, bukan logika kekuasaan. Jika kritik ilmiah dibalas dengan gaya pembelaan hukum yang menyerupai perseteruan pribadi, maka hilang sudah batas antara pemerintahan yang sehat dan kekuasaan yang manipulatif.

Gubernur, sebagai pejabat publik, adalah pelayan konstitusi. Ia wajib menjawab setiap kritik dalam kapasitasnya sebagai penyelenggara pemerintahan daerah, bukan sebagai individu. Adalah tindakan yang tidak patut—meski sah secara formal—jika urusan daerah diselesaikan lewat mekanisme perwakilan hukum privat. Karena dalam logika negara hukum, yang berbicara atas nama negara, haruslah negara itu sendiri, melalui organ-organnya yang sah.

Dan jika niatnya adalah menjaga citra dan menjawab keraguan publik, maka cara yang paling elegan adalah dengan menyampaikan penjelasan terbuka dan institusional, bukan menyewa juru bicara hukum dari luar struktur.

Pada akhirnya, yang dipertaruhkan bukan sekadar nama baik, tetapi legitimasi moral kepemimpinan. Jika negara dikelola layaknya perusahaan pribadi, maka rakyat pun akan menagih tanggung jawab pemimpin seperti mereka menagih pengusaha—bukan negarawan.

Catatan Penutup:

Opini ini bukan serangan, melainkan ajakan. Agar kita semua, termasuk pejabat dan pendamping hukumnya, kembali pada nalar hukum yang sehat, struktur yang tertib, dan etika administrasi yang tak semestinya dikaburkan oleh ambisi atau emosional 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sengketa Perdata Disulap Jadi Tipikor: Analisis Penyalahgunaan Kewenangan dalam Penegakan Hukum

Kewenangan Presiden dan DPR dalam Pembentukan Undang-Undang di Indonesia: Perspektif Hukum Tata Negara

Opini "Sertifikat Laut, Terobosan Tanpa Tepi"