Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2025

"Dampak Viralisasi Media terhadap Putusan Hakim dalam Kasus Pidana: Antara Transp

Gambar
Pendahuluan Dalam era digital yang serba cepat, media massa dan media sosial memiliki peran besar dalam membentuk opini publik terhadap berbagai isu, termasuk kasus pidana. Pemberitaan yang viral sering kali membawa kasus tertentu ke perhatian masyarakat luas, menciptakan diskusi publik yang intens, bahkan sebelum hakim memberikan putusan. Hal ini menimbulkan pertanyaan penting: sejauh mana viralisasi media memengaruhi putusan hakim dalam kasus pidana, dan bagaimana dampaknya terhadap sistem peradilan secara keseluruhan? Media dan Opini Publik dalam Kasus Pidana Media sering kali menjadi sumber utama informasi bagi masyarakat tentang kasus pidana yang sedang berlangsung. Pemberitaan yang viral, terutama dalam kasus-kasus yang dianggap sensitif atau kontroversial, dapat memengaruhi cara masyarakat memandang suatu kasus. Media sering menyajikan narasi tertentu yang dapat membangun persepsi publik, baik yang mendukung terdakwa maupun pihak korban. Namun, persepsi publik yang dibentuk ...

Penerapan Ajaran Postmodern dalam Tatanan Hukum Nasional

Pendahuluan Postmodernisme adalah aliran pemikiran yang lahir sebagai kritik terhadap modernisme, dengan menekankan relativitas, pluralitas, dan dekonstruksi atas narasi besar yang sering dianggap mutlak. Dalam konteks hukum, ajaran postmodern membawa paradigma baru yang mempertanyakan universalitas hukum serta menekankan pentingnya keberagaman dan keadilan sosial. Di tengah masyarakat yang majemuk, seperti di Indonesia, penerapan ajaran postmodern dalam tatanan hukum nasional menjadi relevan untuk menciptakan sistem hukum yang lebih inklusif dan adaptif terhadap dinamika sosial. Ciri-Ciri Postmodernisme dalam Hukum Dalam hukum, postmodernisme membawa ciri khas berikut: Relativisme Hukum Hukum tidak dipandang sebagai sesuatu yang mutlak, tetapi hasil konstruksi sosial yang dapat berubah sesuai konteks budaya, politik, dan nilai-nilai masyarakat. Pluralisme Hukum Postmodernisme mendorong pengakuan terhadap keberagaman sistem hukum, seperti hukum adat, hukum agama, dan hukum ...

Tinjauan Kritis Pasal 25 UU TPKS: Ketidakseimbangan dalam Mengakomodir Rasa Keadilan Terdakwa

Gambar
Pendahuluan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) merupakan tonggak penting dalam upaya melindungi korban kekerasan seksual di Indonesia. Namun, sejumlah pasal di dalamnya, termasuk Pasal 25, menuai kritik karena dianggap tidak seimbang dalam mengakomodir hak-hak terdakwa. Pasal ini berpotensi menimbulkan ketimpangan dalam penegakan hukum, khususnya terkait dengan asas keadilan dan keseimbangan antara korban dan terdakwa. Isi Pasal 25 UU TPKS Pasal 25 UU TPKS mengatur bahwa alat bukti yang sah dalam tindak pidana kekerasan seksual mencakup alat bukti sebagaimana dimaksud dalam KUHAP, serta alat bukti lain seperti rekaman elektronik, keterangan psikolog, dan bukti lain yang relevan. Pasal ini secara eksplisit memberikan ruang yang luas untuk mengakomodasi bukti-bukti yang mendukung korban. Ketimpangan dalam Perspektif Hukum Meskipun tujuan utama Pasal 25 adalah melindungi korban, pengaturannya dianggap menimbulkan ketidakadilan bagi terdakwa...

Kedudukan dan Kualitas Saksi dengan Entitas Berdiri Sendiri dalam Kasus Tanpa Saksi yang Melihat Langsung namun Masing-masing Mengaku Korban: Dasar Hukum dan Analisis

Dalam proses penegakan hukum, saksi memiliki kedudukan yang sangat penting sebagai salah satu alat bukti untuk membuktikan kebenaran suatu peristiwa. Namun, bagaimana jika dalam sebuah perkara, tidak ada saksi yang melihat langsung peristiwa tersebut, tetapi masing-masing pihak mengaku sebagai korban? Artikel ini akan membahas kedudukan dan kualitas saksi dalam situasi tersebut berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia. 1. Kedudukan Saksi dalam Hukum Indonesia Kedudukan saksi diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain: Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 26: Saksi adalah orang yang memberikan keterangan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP Pasal 184 ayat (1): Alat bukti yang sah meliputi: Keterangan saksi, Keterangan ahli, Surat, Petunjuk, Keterangan terdakwa. Dala...

Implementasi Keadilan, Kemanfaatan, dan Kepastian Hukum: Peran Hati Nurani Hakim dalam Kasus Pidana terhadap Pelaku Penyandang Disabilitas Fisik

Dalam sistem peradilan pidana, hakim memegang peran sentral sebagai penentu keputusan yang adil dan bijaksana. Terlebih dalam kasus yang melibatkan pelaku penyandang disabilitas fisik, terdapat tantangan unik dalam menyeimbangkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Artikel ini akan membahas bagaimana hati nurani hakim berperan dalam mencapai ketiga prinsip tersebut. 1. Prinsip Keadilan Keadilan menjadi tujuan utama dalam sistem hukum. Dalam konteks penyandang disabilitas fisik, keadilan tidak hanya berarti pemberian hukuman sesuai dengan peraturan, tetapi juga mempertimbangkan kondisi khusus pelaku. Hakim harus memahami bahwa pelaku dengan disabilitas memiliki keterbatasan yang mungkin memengaruhi tindakannya. Implementasi: Hakim perlu memperhatikan: Motivasi tindak pidana : Apakah tindakan pelaku dilakukan karena tekanan situasional, keterbatasan akses, atau ketidaktahuan akibat keterbatasan fisiknya? Kondisi psikologis : Penyandang disabilitas sering mengalami diskrimi...

Tafsir yang Salah dalam Grooming Behavior: Miskonsepsi dan Penyalahgunaan Narasi

Pendahuluan Grooming behavior sering kali menjadi salah satu istilah yang diangkat dalam kasus kekerasan seksual. Namun, pemahaman yang salah tentang konsep ini dapat menciptakan tuduhan yang tidak berdasar atau memutarbalikkan fakta. Dalam artikel ini, kita akan membahas bagaimana tafsir yang keliru terkait grooming behavior dapat digunakan untuk menuduh seseorang sebagai pelaku tindak pidana kekerasan seksual, meskipun konteks sebenarnya menunjukkan interaksi yang lebih kompleks. Apa itu Grooming Behavior? Grooming adalah serangkaian tindakan yang dilakukan pelaku kekerasan seksual untuk membangun kepercayaan, mengontrol, dan memanipulasi korban demi memuluskan tindak kejahatan. Proses ini sering kali melibatkan langkah-langkah seperti: Membangun hubungan emosional dengan korban. Menormalisasi perilaku seksual melalui percakapan atau tindakan tertentu. Mengisolasi korban dari dukungan sosial. Menciptakan ketergantungan emosional atau finansial. Namun, grooming behavior ...

Grooming Behavior sebagai Alat Menjerumuskan dan Merusak Reputasi

Grooming adalah perilaku manipulatif yang biasanya dilakukan oleh individu dengan tujuan untuk membangun hubungan, kepercayaan, dan koneksi emosional sebagai langkah awal sebelum melakukan tindak pelecehan atau eksploitasi. Namun, dalam konteks tertentu, istilah ini dapat disalahgunakan, termasuk dalam kasus-kasus di mana seseorang dituduh secara tidak adil. Artikel ini membahas fenomena di mana grooming behavior digunakan sebagai alat manipulasi oleh perempuan yang ingin merusak reputasi orang lain melalui tuduhan palsu. 1. Pemanfaatan Tuduhan Grooming dan Kekerasan Seksual Ada kasus tertentu di mana grooming dan tuduhan kekerasan seksual digunakan sebagai alat untuk: Menjerumuskan individu yang tidak bersalah : Tuduhan palsu dapat digunakan untuk menjatuhkan reputasi seseorang, terutama di lingkungan profesional atau publik. Memanfaatkan empati masyarakat : Isu kekerasan seksual seringkali memancing reaksi emosional dari publik, sehingga banyak pihak cenderung percaya pada korba...

Kedudukan Saksi Korban dalam Tindak Pidana Kekerasan Seksual: Isu Pelanggaran Asas Hukum dan Potensi Penyalahgunaan

Pendahuluan Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) merupakan kejahatan serius yang memerlukan penanganan hukum tegas untuk melindungi korban dan menegakkan keadilan. Di Indonesia, peran saksi korban dalam TPKS diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Namun, terdapat kekhawatiran bahwa ketentuan mengenai saksi korban dapat melanggar asas-asas hukum tertentu dan berpotensi disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Peran Saksi Korban dalam TPKS Pasal 25 UU TPKS menyatakan bahwa keterangan saksi dan/atau korban dapat dijadikan alat bukti yang sah dalam proses peradilan tindak pidana kekerasan seksual. Hal ini penting mengingat kejahatan seksual sering terjadi tanpa saksi lain selain korban dan pelaku. Namun, ketergantungan pada keterangan saksi korban sebagai satu-satunya bukti dapat menimbulkan permasalahan hukum. Pelanggaran Asas Hukum Asas "praduga tak bersalah" (presumption of innocence) menyatakan b...

Kedudukan Saksi Korban dalam Tindak Pidana Kekerasan Seksual: Isu Pelanggaran Asas Hukum dan Potensi Penyalahgunaan

Pendahuluan Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) merupakan kejahatan serius yang membutuhkan perhatian hukum yang tegas untuk melindungi korban dan menegakkan keadilan. Dalam konteks hukum Indonesia, keberadaan saksi korban diatur dalam beberapa pasal, khususnya dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang TPKS. Namun, dalam penerapannya, terdapat kekhawatiran bahwa aturan mengenai saksi korban dapat melanggar asas-asas hukum tertentu dan berpotensi disalahgunakan, terutama jika dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Peran Saksi Korban dalam TPKS Dalam kasus TPKS, saksi korban sering kali menjadi sumber utama informasi untuk mengungkap tindak pidana tersebut. Hal ini disebabkan sifat kejahatan seksual yang biasanya terjadi secara tertutup, tanpa saksi langsung selain korban dan pelaku. Pasal-pasal dalam UU TPKS memberikan perlindungan khusus kepada korban untuk mencegah viktimisasi ganda, termasuk kemudahan dalam memberikan keterangan dan perlindungan identita...

Kritik terhadap Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara yang Dianggap Benar Sebelum Pembatalan Pengadilan: Perspektif Konstitusional

Keputusan pejabat tata usaha negara (TUN) merupakan salah satu bentuk pelaksanaan kewenangan administrasi negara yang memiliki dampak luas terhadap masyarakat. Dalam sistem hukum administrasi Indonesia, keputusan pejabat TUN dianggap sah dan memiliki kekuatan hukum hingga ada pembatalan oleh pengadilan, misalnya melalui mekanisme gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Namun, konsep ini menuai kritik dari perspektif konstitusional karena dinilai berpotensi melanggar prinsip-prinsip negara hukum yang diatur dalam UUD 1945. Prinsip Legalitas dalam Negara Hukum Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Salah satu prinsip fundamental dalam negara hukum adalah prinsip legalitas, yang mensyaratkan bahwa setiap tindakan pemerintah harus sesuai dengan hukum. Prinsip ini mencakup: 1. Kepatuhan terhadap Konstitusi: Keputusan TUN harus tunduk pada aturan hukum yang lebih tinggi, termasuk UUD 1945. 2. Pengendalian Kekuasaan: Wewenang pejabat tidak boleh digu...

Opini "Sertifikat Laut, Terobosan Tanpa Tepi"

  Menteri ATR/BPN kita tampaknya sedang berinovasi menuju masa depan di mana segalanya bisa disertipikatkan, termasuk laut. Bayangkan, tak lama lagi, mungkin kita bisa memiliki sertifikat hak milik atas segelas air laut—tentu dengan koordinat presisi! Laut yang dulu dianggap "milik bersama" kini punya peluang untuk dimiliki secara pribadi. Hebat, bukan? Mungkin langkah ini dilandasi niat mulia untuk memastikan laut tidak digadaikan oleh generasi berikutnya tanpa dokumen resmi. Tapi, bukankah kita seharusnya bertanya: siapa yang sebenarnya perlu sertifikat untuk sesuatu yang tak pernah bisa dimiliki? Apa setelah ini awan dan angin juga akan disertipikatkan? Toh, kalau ada kemauan, apa sih yang tidak bisa dijadikan dokumen legal di negeri ini? Kebijakan ini, kalau dilanjutkan, mungkin akan membuka peluang bagi individu kaya raya untuk mengklaim "sebidang laut". Nelayan kecil pun nanti harus meminta izin dulu untuk melempar jaring. Mau menyelam? Jangan lupa izin dulu s...

Membangun Kepercayaan Publik sebagai Strategi Integritas Organisasi Advokat DePA-RI di Era Digital

Di era digital yang terus berkembang, organisasi advokat seperti Dewan Pergerakan Advokat Republik Indonesia (DePA-RI) menghadapi tantangan baru dalam menjaga integritas dan kepercayaan publik. Digitalisasi membawa berbagai peluang, namun juga menuntut transparansi dan akuntabilitas yang lebih tinggi dari lembaga-lembaga profesional. Dalam konteks ini, membangun dan memelihara kepercayaan publik menjadi strategi utama untuk memastikan keberlanjutan dan relevansi organisasi. Pentingnya Kepercayaan Publik Kepercayaan publik adalah fondasi utama bagi keberhasilan organisasi advokat. Publik, yang mencakup masyarakat umum, klien, dan pihak terkait lainnya, cenderung memilih organisasi yang dianggap dapat dipercaya untuk menangani permasalahan hukum mereka. Di era digital, reputasi sebuah organisasi dapat terpengaruh dengan cepat melalui ulasan online, media sosial, atau berita digital. Oleh karena itu, menjaga integritas dan transparansi merupakan keharusan. Strategi Membangun Kepercayaan P...

Kewenangan Presiden dan DPR dalam Pembentukan Undang-Undang di Indonesia: Perspektif Hukum Tata Negara

Abstrak Pembentukan undang-undang merupakan salah satu fungsi utama dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Proses ini melibatkan dua lembaga utama, yaitu Presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan, serta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai representasi rakyat. Artikel ini membahas kewenangan kedua lembaga tersebut dalam pembentukan undang-undang berdasarkan konstitusi, khususnya UUD 1945, serta relevansi peran mereka dalam menjaga keseimbangan kekuasaan legislatif dan eksekutif. 1. Pendahuluan Pembentukan undang-undang di Indonesia didasarkan pada prinsip checks and balances antara cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa undang-undang yang dihasilkan mencerminkan kebutuhan rakyat serta prinsip negara hukum. Dalam UUD 1945, pembentukan undang-undang diatur secara rinci, terutama dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 21. 2. Kewenangan DPR dalam Pembentukan Undang-Undang DPR memiliki peran sentral sebagai lembaga legislati...

Filsafat hukum

Dalam ontologi, kita punya beberapa paham besar. Salah satunya adalah monoteisme, yang percaya kalau cuma ada satu Tuhan atau kekuatan tertinggi. Nah, dari monoteisme ini, muncul lagi dua cabang utama: idealisme dan spiritualisme.  Dualisme percaya kalau ada dua prinsip dasar yang membentuk dunia, misalnya materi dan roh. Sedangkan pluralisme melihat dunia sebagai sesuatu yang terdiri dari banyak bagian atau prinsip yang berbeda-beda. Jadi kita udah bahas monoteisme. Sekarang kita bahas dualisme. Dualisme percaya kalau ada dua kekuatan dasar yang membentuk dunia. Contohnya, ada yang bilang kalau dunia ini terdiri dari materi dan roh. Jadi, manusia itu punya tubuh (materi) dan jiwa (roh). Pluralisme agak beda. Dia bilang kalau dunia ini terdiri dari banyak hal yang berbeda-beda, enggak cuma dua. Misalnya, dalam agama Hindu, ada banyak dewa yang mewakili berbagai aspek kehidupan. Jadi monoteisme percaya kalau cuma ada satu Tuhan atau kekuatan tertinggi yang mengatur segalanya. Contoh...