Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2025

Judul: Antara Legalitas dan Legitimasi: Kajian Sosial-Hukum terhadap Eksistensi Yakuza di Jepang dan GRIB di Indonesia

Judul: Antara Legalitas dan Legitimasi: Kajian Sosial-Hukum terhadap Eksistensi Yakuza di Jepang dan GRIB di Indonesia Abstrak Artikel ini membandingkan dua entitas sosial yang sering dianggap kontroversial, yakni Yakuza di Jepang dan organisasi masyarakat (ormas) GRIB di Indonesia. Kajian ini menggunakan pendekatan sosiologis-hukum untuk mengurai akar historis, bentuk kekuasaan, serta relasi keduanya dengan negara dan masyarakat. Tujuannya adalah memberikan pemahaman kritis tanpa prasangka kriminalisasi, sekaligus menawarkan refleksi terhadap ketegangan antara legalitas formal dan legitimasi sosial dalam praktik kekuasaan non-negara. Pendahuluan Dalam literatur hukum dan sosiologi, keberadaan aktor non-negara yang memiliki kekuasaan de facto kerap menimbulkan perdebatan. Apakah kekuasaan yang tidak legal selalu melanggar hukum? Atau adakah ruang legitimasi sosial bagi entitas yang tidak diakui oleh peraturan perundang-undangan, namun memiliki pengaruh kuat terhadap kehidupan masyaraka...

Panggung Perlindungan atau Gaduh Sosial: Kritik atas Peran LPA dalam Kasus Pernikahan Dini di Lombok"

Gambar
"Panggung Perlindungan atau Gaduh Sosial: Kritik atas Peran LPA dalam Kasus Pernikahan Dini di Lombok" Oleh: Dr. Ainuddin, S.H., M.H. Fenomena pernikahan dini kembali menjadi polemik publik, khususnya di Pulau Lombok. Sebuah realitas sosial yang berlangsung secara turun-temurun kini terusik oleh tafsir tunggal atas nama “perlindungan anak”. Tak sedikit pernikahan yang dilangsungkan dengan restu orang tua, didorong oleh keyakinan mendalam atas keselamatan lahir dan batin anak—bahwa menjaga dari perzinaan lebih utama dari sekadar patuh pada batas usia dalam Undang-Undang. Secara yuridis, memang benar bahwa UU No. 16 Tahun 2019 hasil perubahan atas UU Perkawinan menetapkan batas minimal usia perkawinan 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan. Namun, hukum juga menyediakan ruang melalui mekanisme dispensasi kawin yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama. Ini membuktikan bahwa negara mengakui adanya konteks sosial dan agama yang bisa menjadi alasan sah untuk melakukan perkawinan d...

Menjembatani Nilai Sosial dan Aturan Rumah Sakit: Urgensi Fasilitas Ramah Anak di RSUP Mataram

Menjembatani Nilai Sosial dan Aturan Rumah Sakit: Urgensi Fasilitas Ramah Anak di RSUP Mataram Oleh: Dr. Ainuddin.SH.MH. Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu bentuk pendidikan sosial terbaik bagi anak-anak adalah melalui keteladanan langsung dalam kehidupan nyata. Banyak orang tua di Mataram yang dengan kesadaran nilai tersebut membawa anak-anak mereka ke Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Mataram untuk menjenguk anggota keluarga yang sedang dirawat. Kegiatan ini bukan sekadar kunjungan biasa, melainkan bagian dari upaya membentuk karakter anak agar peka terhadap penderitaan orang lain dan menumbuhkan empati serta nilai-nilai kemanusiaan sejak dini. Namun, pada sisi lain, rumah sakit menetapkan aturan yang tidak memperkenankan anak-anak untuk memasuki area rawat inap. Kebijakan ini tentu didasarkan pada alasan yang dapat dipahami, antara lain faktor risiko kesehatan dan ketenangan pasien. Akan tetapi, di balik kebijakan tersebut, terdapat kekosongan ruang partisipatif yang justru mengham...

Menang di PTUN Bukan Berarti Langsung Berhak atas Tanah"

"Menang di PTUN Bukan Berarti Langsung Berhak atas Tanah" Oleh: Dr. Ainuddin, S.H., M.H. Advokat dan Akademisi Hukum Tata Negara Dalam berbagai kasus pertanahan, masyarakat sering kali merasa bingung setelah mendapatkan kemenangan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Mereka mengira bahwa dengan dibatalkannya sertifikat HGU, izin lokasi, atau SK pejabat tertentu, maka tanah otomatis menjadi milik mereka. Sayangnya, itu adalah kesalahpahaman yang sering berujung pada tindakan gegabah, bahkan bisa menjerat warga ke dalam masalah hukum baru. Perlu diketahui, putusan PTUN hanya membatalkan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) , seperti sertifikat HGU yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) atau izin usaha oleh pejabat pemerintah. Putusan PTUN tidak serta merta menetapkan siapa pemilik sah atas tanah tersebut , karena itu bukan ranah peradilan tata usaha negara, melainkan wilayah pengadilan perdata . Dalam hukum Indonesia, sistem hukum administrasi dan hukum perdata ...

Membedakan Kebijakan Administratif dan Tindak Pidana Korupsi: Studi Kritis atas Risiko Kriminalisasi Kebijakan Publik

DR.AINUDDIN.SH.MH. Abstrak Pemberantasan korupsi merupakan mandat konstitusional yang tidak dapat dikompromikan. Namun demikian, semangat antikorupsi yang berlebihan berpotensi menimbulkan kriminalisasi terhadap kebijakan administratif yang sah. Artikel ini menganalisis perbedaan antara kebijakan dan tindak pidana korupsi, dengan merujuk pada ketentuan hukum positif Indonesia dan yurisprudensi Mahkamah Agung, khususnya dalam konteks kasus (NCC) dan potensi penyidikan terhadap TGB. Melalui pendekatan normatif dan studi kasus, artikel ini menegaskan pentingnya membedakan diskresi administratif yang sah dari perbuatan melawan hukum yang memenuhi unsur tindak pidana korupsi. Kata Kunci: Korupsi, Diskresi, Kriminalisasi Kebijakan, TGB, NCC, Asas Legalitas 1. Pendahuluan Pemberantasan korupsi di Indonesia telah menjadi agenda nasional pasca-reformasi. Namun, praktik penegakan hukum menunjukkan gejala kekeliruan dalam membedakan antara tindakan administratif sebagai bentuk kebijakan pemerinta...